Oleh : Jojo (Pemerhati Sosial Kemasyarakatan)

Sistem pemilu di Indonesia saat ini adalah sistem pemilu yang dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres) serta pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota (pilkada). Mekanisme pemilihan langsung di Indonesia satu orang satu suara menempatkan setiap pemilih memiliki hak pilih setara pada 17 April 2019. Suara ulama, kyai, ilmuwan, pengusaha, kelas atas, kelas menengah, tidak ada bedanya  dengan suara petani, nelayan, fakir-miskin, pemulung dan kaum papa bahkan  orang gangguan mental.

Asian Development Bank (ADB) menyebut kelas menengah merujuk penduduk berpenghasilan 2 – 20 dolar AS. Sementara, Boston Consulting Group (BCG) menyebutkan, jumlah kelas menengah Indonesia akan mencapai 62,8% dari 267 juta jiwa total populasi penduduk Indonesia (2020).  Jika jumlah pemilih 2019 sejumlah 196,5 juta, maka ada  123 juta pemilih kelas menengah. Potensi lumbung suara yang tidak bisa dianggap enteng  dalam pemilu 2019.

Peningkatan jumlah kelas menengah telah mengubah wajah demografi dan sosial ekonomi Indonesia. Kelompok demografis ini dominan dalam jumlah dan pertarungan wacana publik. Mereka memiliki kekhasan perangai (mapan, kritis, rewel, egois, cenderung konsumtif, ngehek  (manja) dan  vokal  beraspirasi. Secara politis mereka menjadi kekuatan yang diperhitungan dan membuat politik elektoral   tambah semarak, berisik, dan menegangkan.

BACA JUGA :  Lauk Sarapan Simple dengan Omelet Ayam dan Sayuran untuk Anak

Prilaku kelas menangah dibentuk oleh tiga komponen utama, yaitu ekonomi, konektivitas, dan pengetahuan. Dari aspek ekonomi, kebutuhan pokok mereka telah terpenuhi. Memiliki 30% penghasilan menganggur dan mengalihkan perhatian untuk memenuhi kebutuhan sosial. Aspek konektivitas, mereka suka berjejaring. Dan wawasan pengetahuan mereka juga luas. Aspek ini sangat mempengaruhi keputusan mereka dalam menentukan sikap  politiknya.

Dengan konektivitas yang dilakukan,  akses terhadap internet (termasuk sosial media) merupakan menu sehari-hari.  Mereka mudah memperoleh informasi kapan dan dari manapun, memiliki pengetahuan yang relatif luas. Mereka peduli terhadap isu global dan hak-hak sipil.  Hal ini penting dan menjadi referensi tambahan  pada pilihan  politiknya.

Firmanzah (2012) menyebutkan  tipologi calon pemilih dibagi dua kategori, yakni pemilih berorientasi  kebijakan dan orientasi ideologi. Pemilih yang berorientasi kebijakan akan menggunakan hak pilihnya berdasarkan beberapa catatan kinerja dan reputasi calon yang akan dipilihnya. Sedangkan pemilih yang berlandaskan pada orientasi ideologi cenderung  mengedepankan pada kesamaan pemikiran maupun latar belakang antara pemilih dengan calon yang akan dipilih.

Secara umum, prilaku pemilih kelas menengah bercirikan rasional, kritis dan skeptis. Klaster ini  rasional,  mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan kampanye para kandidat, sekaligus menganalisis kemungkinan program-program tersebut relevan (logis) untuk dikerjakan atau tidak.

BACA JUGA :  Kemenangan Timnas Indonesia jadi Modal Penentu Kontra Jordania

Kelompok demografis ini  juga kritis (rewel), merupakan gabungan antara pilihannya atas dasar kebijakan dengan ideologi. Tidak cukup hanya melihat figur (citra) personal beserta  melihat program maupun rekam jejaknya, tapi juga akan mempertimbangkan  citra partai politik pengusungnya. Skeptis, mereka tidak merasa terikat dengan ideologi manapun, cenderung menganggap bahwa kebijakan yang dijanjikan (baik dari partai maupun secara personal) tidak akan membawa perubahan signifikan.

Arus politis  mereka adalah  loyalis pragmatis, artinya mereka akan loyal   selama kepentingan mereka tercukupi. Mereka umumnya manjauhi  politik praktis, namun tidak alergi  perubahan arah angin politik. Profesi dan status menjadi kunci menarik bagi mereka. Penguasaan materi dan menumpuk aset  masa depan merupakan kecenderungan kalangan kelas menengah sekarang.

Kelas menengah  bukanlah kelompok pengambil risiko politis, namun lebih mengedepankan aksi komunalitas tanpa kekerasan. Mereka juga bukanlah kelompok masyarakat yang mengambil garis perjuangan politik informal yang kuat di akar rumput karena hanya berbasis isu dan kepentingan.

============================================================
============================================================
============================================================