RIYADH, TODAYÂ – Perekonomian Arab Saudi Goyah. Untuk kali pertaÂma, negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia itu mencari pinjaman baru mencapai USD 8 miliar atau setaÂra dengan Rp 105 triliun ke sejumlah bank internasional, untuk menutup defisit hingga USD 100 miliar pada 2015 akibat jebloknya harga minyak.
Seperti dilansir Business InsidÂer, Kamis (10/3/2016), selain menÂcari pinjaman, negara yang dalam satu dekade terakhir tak memiliki utang luar negeri itu, telah berusaha mengatasi turunnya harga minyak dengan menghindari pengurangan produksi.
Riyadh sendiri telah menerapkan aturan pajak baru dengan memoÂtong dana untuk program sosial dan bersiap menjual sebagian saham peÂrusahaan minyak negara multitriliun dolar, Aramco. Strategi mengatasi masalah anjloknya harga minyak tanpa mengurangi produksi justru memperburuk perekonomian Saudi saat ini.
Kondisi ini diperburuk dengan keterlibatan Saudi dalam penyeleÂsaian konflik di Yaman. Sebagai peÂmimpin koalisi negara-negara Arab, Saudi membantu pemerintah Yaman memberangus kelompok pembeÂrontak Houthi yang didukung Iran. Namun, tekanan militer koalisi Arab malah macet dan strateginya diangÂgap blunder.
Saudi juga menghadapi serangan kelompok milisi Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS) dalam setahun teraÂkhir. Bersamaan, Riyadh bersitegang dengan Iran, sehingga meningkatÂkan tekanan militer dan diplomasinÂya yang berimplikasi pada pembeÂrian bantuan dana kesetiaan kepada negara-negara sekutunya. Februari lalu, Saudi menggelar latihan militer yang diklaim terbesar dalam sejarah negara itu.
Sederet keterlibatan Saudi dalam konflik bersenjata di beberapa negÂara berimplikasi pada biaya pembeÂlian peralatan militernya. Saudi pun tercatat sebagai importir peralatan militer terbesar di dunia pada 2014. Dan tahun 2015, anggaran pertahanÂan Saudi merupakan yang terbesar ketiga di seluruh dunia. Alhasil, SauÂdi mulai mengkritisi keterbatasan strategi minyaknya dalam geopolitik saat ini.
Siap Damai Dengan Iran
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir mengatakan, Saudi dan negara-negara Teluk bisa saja memÂbuka halaman baru dan membangun hubungan yang sangat kuat dengan Iran jika menghormati dan berhenti campur tangan urusan mereka.
“Jika Iran mengubah cara dan kebijakannya, bukan mustahil kita akan membuka lembaran baru dan membangun hubungan yang sangat baik berdasarkan saling menghorÂmati antartetangga dengan tidak mencampuri urusan negara lain,†katanya kepada wartawan di Riyadh.
Untuk masalah ini tidak perlu mediasi, kata Jubeir, yang memutusÂkan hubungan diplomatik dengan Republik Islam Iran pada Januari 2016 setelah sekerumunan orang menyerang kantor Kedutaan Besar dan Konsulat Kerajaan Saudi di Iran.
Jubeir menuturkan, hubunÂgan Saudi dengan Iran memburuk karena masalah sektarian menyusul dominasi kaum Syiah Iran yang menÂguasai pemerintahan serta dukunÂgan untuk kelompok terorisme dan pengembangan teroris di kawasan Timur Tengah
“Iran adalah negara tetangga muslim yang memiliki peradaban tinggi dan rakyatnya sangat ramah. Namun semua itu berubah menyusul revolusi Ayatullah Rouhullah KhoÂmeine,†ucap Jubeir, yang berbicara seusai acara pertemuan menteri luar negeri negara-negara Teluk.
Saudi dan negara-negara Teluk juga menuduh Iran mendukung pemberontak Syiah di Yaman. Iran juga dituding menyokong pembeÂrontak dalam perang lima tahun di Suriah. Adapun Iran secara terbuka menyatakan mendukung Presiden Bashar al-Assad.
(Rishad/Net)