Oleh: MAFULUDDIN MAHFUDZ, S.KOM.I
Wakil Ketua Bidang Politik, Kemanan dan BUMD DPD KNPI Kota Bogor
Taman kota yang berÂmasalah seperti ini juga akan rentan terhadap terjadinya perebutan kepentinÂgan; baik oleh pemerintah, berbÂagai kelompok masyarakat, mauÂpun oleh pihak swasta –dimana semua pihak merasa berhak dan menganggap dapat mengubah ruÂang publik tersebut menjadi sesÂuatu yang lebih berguna. DiungÂkapkan oleh Fandeli, dkk (dalam Hariyono, 2010) yang menyebutÂkan bahwa terdapat kecenderunÂgan ruang terbuka hijau yang seÂmakin berkurang; dikarenakan terjadinya perebutan kawasan taÂman kota baik antara sektor pubÂlik dan privat, maupun antara maÂsyarakat strata menengah bawah dan masyarakat strata atas.
Dampak permasalahan taman kota bergaya barat yang tidak sesÂuai dengan konteks budaya timur ini memang tidak selalu terjadi di negara-negara berbudaya timur. Tapi di Bogor, dampak itu mungÂkin saja terasa. Jika dilihat latar belakang masalahnya, persoalan taman di Kota Bogor umumnya adalah bahwa taman kurang meÂnarik minat pengunjung untuk datang, tidak adanya media inforÂmasi dan media promosi tentang taman tersebut, kondisi taman yang kotor, sarana dan prasaÂrana tidak terawat seperti kursi, pohon-pohon, tempat bermain anak, tempat sampah , dan lain-lain. Selain itu, boulevard taman tidak rapih, keamanan di taman masih kurang, tidak jelas fungsi dari taman kota tersebut, tidak ada yang membangkitkan minat untuk datang.
Akibat kesadaran itu tidak dibangun dan disosialisasikan kepada masyarakat, muncul perÂsoalan sikap dan perlakuan yang salah dari warga, misalnya menjaÂdikan Taman Air Mancur sebagai tempat mandi anak-anak, selain ada faktor kasus seperti di Taman Peranginan yang mempengaÂruhi psikologi masyarakat akibat ditemukannya mayat tak dikeÂnal pada Mei 2015, selain belum maksimalnya fungsi Taman RaÂmah Burung yang sejatinya dibanÂgun dengan merevitalisasi jalur hijau Jalan Ahmad Yani, belum memperlihatkan hasil nyata sebÂagai tempat untuk mengundang burung bersarang dan hinggap di kawasan itu.
Sebaliknya, pertumbuhan bisnis yang cepat menjadi faktor utama yang mengakibatkan para investor menciptakan lahan bisÂnis yang baru di tempat-tempat strategis yang berada di tengah kota dan mereka pun malah mengincar taman-taman kota yang posisinya pas berada di tenÂgah kota. Bunderan dekat BTM Mall salah satunya, meski kini tak lagi terpasang. Juga reklame yang lebih dominan di Taman Air ManÂcur yang mengurangi nilai estetiÂka dari sejarah keberadaan benda cagar budaya tersebut. Masalah krusial berikutnya adalah tata ruÂang amburadul yang dipicu pemÂbiaran dan pemberian izin tak terÂkendali sehingga Bogor tumbuh menjadi kota di luar identitasnya sebagai kota taman dan kota wisaÂta yang nyaman.
Melalui tulisan ini, dapat terliÂhat bahwa terdapat konflik antara pengguna taman kota beserta kebiasaannya dengan rancangan taman kota itu sendiri. Namun, mencari pihak yang harus menÂgalah dalam konflik ini bukanlah perkara mudah dan memang tidak perlu untuk dicari. Yang diperlukan adalah mengembaÂlikan pemahaman peran penting taman kota yang diperuntukkan bagi seluruh komponen masyaraÂkat kota; baik itu masyarakat umum, pemerintah, maupun swastaSebut saja ini sebuah epoÂsisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana komunikasi saja, melainkan juga melalui pendidiÂkan lingkungan serta pemfasiliÂtasan melalui perancangan taÂman kota tersebut (Maller, 2009). Dalam melakukan reposisi taman kota, pertama-tama diperlukan adanya pemahaman kembali oleh seluruh komponen masyaraÂkat perkotaan mengenai peran penting taman tersebut di dalam memelihara, menjaga, serta meÂningkatkan kesehatan masyarakat perkotaan beserta lingkungannya (Maller, 2009). Sudah tentu di dalam proses reposisi taman kota ini juga diperlukan adanya penyeÂsuaian terhadap konteks budaya masyarakat perkotaan tersebut.
Tujuan dari reposisi taman kota ini nantinya tidak lain adalah untuk membentuk kembali budaÂya kolektif perkotaan yang lebih sehat dan sejahtera. Budaya ini juga diharapkan dapat menjadi budaya yang menghargai peran dan manfaat bentang alam yang terdapat di lingkungan perkotaan (landscape urban culture); seÂhingga budaya tersebut dapat meÂmiliki kualitas seperti: kekuatan untuk menyatukan semua lapisan masyarakat yang berbeda dan kekuatan untuk memberikan rasa kolektivitas serta saling memiÂliki kepada masyarakat (Dascălu, 2007).
Terdapat kemungkinan beberÂapa konsep yang dapat menduÂkung reposisi taman kota, yaitu: taman kota yang bukan untuk keÂsenangan individual, melainkan komunal; taman kota yang memiÂliki fungsi sosial yang tinggi; dan taman kota yang dapat menyeÂdiakan fungsi ekonomi –walauÂpun bersifat informal. Penerapan konsep-konsep pendukung ini pada perancangan sebuah taman kota dapat diwujudkan mulai dari skala yang besar (perancangan tapak) sampai kepada skala yang kecil (perancangan detail taman).
Perwujudan dalam skala yang besar akan lebih mudah diÂlakukan ketika merencanakan, merancang, dan membangun suatu taman kota yang baru. SeÂgala bentuk idealisme perancanÂgan memang akan lebih mudah diterapkan dan diwujudkan pada suatu kondisi yang baru. Namun ketika “kondisi yang baru†ini sulit ditemukan di lingkungan perkotaan, maka proses pemfasilÂitasan dari konsep reposisi taman kota ini dapat dilakukan dengan perancangan kembali (redesign) beberapa komponen dari taman kota yang sudah ada dengan skala perancangan yang lebih kecil atau lebih detail.
Di era peradaban yang selalu menghendaki perubahan yang cepat, kondisi hubungan manusia dan alam mau tidak mau harus mengalami perubahan yang lebih baik; dan mereposisi konsep taÂman kota merupakan sebuah solusi yang visible demi lingkunÂgan perkotaan yang berkelanjuÂtan. Dalam proses pembentukan budaya baru yang lebih baik ini sebenarnya tidak diperlukan adÂanya kekhawatiran yang berlebiÂhan; ini dikarenakan terdapatnya sebuah kualitas mendasar dari tiap budaya manusia, yaitu buÂdaya tersebut bisa dan dapat “diÂpelajari†(Dascălu, 2007). Meski begitu, dalam reposisi taman kota diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan seÂtempat, sehingga nantinya dapat menghasilkan perancangan taÂman kota yang optimal dan tidak sekedar hasil tiruan dari taman-taman kota sebelumnya yang suÂdah ada. (*)