Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyatakan merosotnya kinerja pertumbuhan investasi industri makanan minuman mencapai 25,6 persen pada semester I/2015 year on year akibat ketidakpastian regulasi teknis, seperti UU SDA dan UU JPH. Bahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berlanjut pada kuartal II/2015 ini, membuat pengusaha makanan dan minuman (mamin) ketar ketir.
Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]
Ketua Umum Gabungan PenÂgusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, menÂgatakan kemungkinan besar target investasi makanan minuman menÂcapai Rp60 triliun pada 2015 tidak terealisasi.
“Kondisi global meÂmang memengaruhi inÂvestasi, tetapi kepastian regulasi dalam negeri juga berdampak. Belakangan, BKPM tidak bisa memÂberikan izin investasi, kepada industri yang menggunakan air, karena aturan mengenai sumber daya air belum jelas,†tuÂturnya.
 Data Badan Koordinasi PenÂanaman Modal (BKPM) menyeÂbutkan, setidaknya ada empat sektor industri yang mengalaÂmi penurunan kinerja selama enam bulan pertama 2015, antara lain industri makanan sebesar 25,6 persen atau senilai Rp23,4 triliun, kertas barang dari kertas dan percetakan 42,75 persen (Rp4,58 triliun), kulit barang dari kulit dan sepaÂtu 52,51 persen (Rp0,85 triliun) dan industri lainnya mencapai 35,14 persen atau hanya senilai Rp480 miliar.
Di tengah sektor yang menÂgalami perlambatan, rerata pertumbuhan realisasi invesÂtasi terdorong dari cerahnya kinerja sektor logam dasar, baÂrang logam, mesin dan elekroÂnik yang bertumbuh mencapai 105,4 persen atau berkontriÂbusi paling besar dengan nilai Rp22,06 triliun, diikuti oleh inÂdustri kimia dasar, barang kimÂia dan farmasi (62,15 persen), serta industri alat angkutan dan transportasi lainnya (36,01 persen).
Adhi mengatakan meskipun dampak ketidakpastian global memengaruhi, faktor terbesar terjadinya wait and see adalah belum jelasnya regulasi teknis dalam negeri.
“Kalau data kuartal I/2015 menunjukkan kemerosotan realisasi memang terjadi dari penanaman modal asing, kaÂrena pemain besarnya sudah banyak yang datang di tahun sebelumnya. Yang menarik, inÂvestasi PMDN malah melonjak, hingga kini sudah Rp14 triliun, padahal tahun lalu saja Rp19 triliun,†tambahnya.
Daya Beli Menurun
Adhi S Lukman juga menÂgungkapkan, perekonomian Indonesia pada kuartal II yang hanya tumbuh 4,67% seÂcara makro berpengaruh terÂhadap industri mamin. Sebab, keberlangsungan industri mamin bergantung pada daya beli masyarakat. “Kan tentunÂya secara makro berpengaruh terhadap daya beli, karena konsumsi itu tergantung perÂtumbuhan ekonomi. Kalau makin lambat tentu kami khaÂwatir,†tuturnya.
Terlebih, lanjut Adhi, pada kuartal III tidak ada momenÂtum apapun yang membuat industri mamin bangkit di tengah perlambatan ekonomi. Jika pada kuartal II pengusaÂha mamin diuntungkan denÂgan momentum puasa dan Lebaran, namun tidak dengan kuartal III dan IV.
Bahkan, momentum pemiliÂhan kepala daerah (Pilkada) yang akan berlangsung pada kuartal IV pun tidak terlalu berÂdampak pada industri mamin. “Kuartal III tidak ada momenÂtum apa-apa. Kalau kuartal II kan ada puasa dan Lebaran. Kuartal III flat, ini kita khawatÂir,†terang dia.
Pihaknya berharap, pemerÂintah dapat segera merealisasiÂkan pembangunan infrastrukÂtur dan meningkatkan investasi yang dapat menggairahkan perekonomian Tanah Air.
“Karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Apalagi kalau sampai dolar Amerika Serikat (USD) menguat terus terhadap rupiah, kita kan semakin khaÂwatir,†pungkas Adhi.
(BIS/SND/Apri)