MASA Kepemimpinan Prabu Surawisesa merupakan masa transisi, dari era tradisional agraris ke era modern industri. Perkembang industri di Eropa, meÂnyebabkan mereka memburu produk-produk sumberdaya alam ke seluruh dunia.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
Mereka menjelajah ke Timur, termasuk ke IndoneÂsia, dan akhirnya menjajah.
Sejarah berulang. Kini, ketika Amerika dan Eropa mengalami problem akibat terjadinya perubahan peradaÂban post industrial dan memÂbentuk post industrial society, kita juga mengalami hal yang relatif sama, tapi lebih dahÂsyat dampaknya.
Berbagai negara secara sadar membenÂtuk cyber trooper dan cyber warrior untuk membalikkan tata pikir, minda (mindset) masyarakat. Tak jauh beda dengan sikap penjajah PorÂtugis, Inggris, Perancis, dan BeÂlanda. Hal itu dilakukan seirama dengan penguasaan sumberÂdaya alam. Termasuk, misalnya menguasai lahan dan mengalih-fungsikannya.
Penguasaan sumberdaya alam, terutama hutan dan peÂsawahan menjadi aksi yang diÂlakukan serempak. Bersamaan dengan itu, para cyber trooper dan cyber warrior menebar berbagai gaya dan pandangan hidup baru kepada generasi muda, sehingga mereka lupa tentang hakekat Indonesia sebaÂgai kawasan dengan hutan hujan tropis yang paling kaya.
Alih fungsi lahan dan penÂguasaan hutan, akan membuat rakyat kian kehilangan ruang untuk ngejo. Seperti diprediksi Jaard Diamond, dalam situÂasi demikian, yang bakal terÂjadi adalah rurusuhan. Dimulai dengan sengketa lahan, konflik lahan dalam pembangunan inÂfrastruktur, dan lain-lain. RuruÂsuhan terjadi karena kemiskinan bertambah.
Apa yang harus dilakukan menghadapi semua itu? Kita daÂpat mengacu sikap dan tindakan Prabu Surawisesa, yaitu: ngaÂjaga lembur, jeung ngajaga leuÂweung. Menjaga kampung dan hutan kita yang sudah mereka pertimbangkan sebagai sentra-sentra konflik sosial.
Dalam konteks itulah, pemerintah dan masyarakat seÂcara bersama-sama dan sinergis, harus “Panceg dina galur, babÂarengan ngajaga lembur. SalaÂwasna akur jeung dulur.†Teguh pendirian memelihara Bogor yang damai dan berbudi secara konsisten. Bersama-sama menÂjaga kampung. Selamanya akur dengan sesama saudara. Dan semua kalangan harus seremÂpak meneriakkan kalimat ajakan yang satu: Hayu urang reugreug pageuh repeh rapih. Cegah setiap upaya menyeret siapa saja ke dalam friksi dan konflik sosial. Bila Bogor aman damai, Jawa Barat akan tenteram, dan Indonesia akan damai pula.
Pusatkan perhatian kolekÂtif pada upaya meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi di Jawa Barat dan di Indonesia, yang kelak akan menjadi contoh bagaimana menÂciptakan kondisi bagi kuatnya fundamental ekonomi rakyat.
Di masa lalu kita menghadapi musuh yang tampak. Kini? Kita menghadapi musuh (maaf) jiga hitut. Tak terlihat, tapi terasa, terasa tapi tak nampak, tak namÂpak tetapi ada, “Nu kadeuleu teu karasa, nu kaambeu teu kaÂdeuleu, teu kadeuleu, tapi aya..†Salah satunya adalah proses pengÂgerusan nilai-nilai kemanusiaan.
Lembur jeung leuweung kudu dijaga, supaya kita kembali mampu merayakan kehidupan sebagai cara mencapai kebahaÂgiaan hidup dunia dan akhirat. Menjadi manusia sejati. Bukan manusia jadi-jadian. Yaitu, disÂebat jiga jelema, da sok béda, sebut inyana arca da sok nyaréÂkan, sebut inyana jelema, da ka Gusti sok ngalawan, sebut joré, da sok bagus kabina-bina, sebut kasép, da sok jiga kohkol acan anggeus, sebut aki-aki, da sok jiga jajangkar mangkat begér, ari disebut ngora, da sok jiga ka(w)ung kari tuareun !â€
Dikatakan seperti manusia, kok berbeda. Katakan patung, tapi sering ngomel. Katakan inÂsan, tapi kok melawan Tuhan? Sebut buruk, tapi sering berÂbuat baik sekali. Sebut bagus, tapi sering seperti binal tak usai sudah. Katakan dewasa, tapi kelakuan macam belia baru tumbuh. Disebut muda, sering seperti kawung busuk.