Oleh : Tri Suratmi

Dalam bahasa Jawa terdapat akronim, bahwa kata guru berarti iso digugu lan ditiru (dapat dipercaya dan menjadi contoh berperilaku). Dalam dunia pewayangan, guru adalah pribadi yang dihormati, bukan karena kekayaan duniawai, melainkan oleh ketulusan dalam memberikan ilmu pengetahuan. Cara mentransfer pengetahuan

yang digunakan setiap guru berbeda, meskipun secara umum calon guru dibekali mata pelajaran / mata kuliah metodologi pembelajaran. Masing-masing guru memiliki style, ciri khas yang kadang berdampak fanatisme murid terhadapnya.

Seorang siswa rajin belajar karena menyukai cara guru mengajar, dan sebaliknya. Style Guru Matematika berbeda dengan guru Olah Raga dan guru Seni. Empat puluh satu tahun yang lalu, saat kami masih duduk di bangku sekolah  menengah pertama (SMP) pada tahun 1975-1977, di SMP Sanjaya Cawas Klaten,  kami memiliki dua (2) orang guru seni. Guru seni suara, dan guru seni lukis, yang  kebetulan suami-istri, namanya Sri Mulyadi dan Sri Mulyani. Secara khusus dalam  tulisan ini dibahas sosok Pak Mulyadi yang tetap berjiwa muda meskipun usia beliau  telah adiyuswa (lansia).

Wajah pak Mulyadi, demikian kami sapa waktu di SMP, ganteng dan sehari-hari berpenampilan flamboyant. Di saat guru yang lain tampil  sederhana menggunakan alat transportasi sepeda, Pak Mulyadi sudah memakai  sepeda motor ‘honda’ warna merah, sedangkan kami para murid biasa berjalan kaki  tanpa sepatu atau naik sepeda onthel. Pak Mulyadi adalah lulusan Akademi Seni  Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Cara Pak Mul mengajarkan bagaimana menggambar sungguh mengesankan.  Murid cantik adalah model yang amat mudah dicomot pak Mul untuk dituangkan di papan tulis hitam dengan kapur. Goresan-goresan sederhana tangannya segera membentuk wajah yang dimaksud. Jarang, atau seingatku tidak pernah Pak Mul memilih teman pria sebagai model. Selalu perempuan. Benarlah kata pepatah, kecantikan selalu menginspirasi seniman. Kebetulan seniman itu adalah guruku.

Waktu amat cepat berlalu, Sanjaya nama sekolahku sudah tak lagi terdengar alias almarhum. Digantikan dengan nama baru, SMP Pangudi Luhur. Lokasi sekolah juga berpindah. Gedung sekolah kami sudah tak layak disebut bangunan, roboh belum, berdiri tidak. Juga tidak dimanfaatkan untuk kegiatan lain, entah mengapa seolah tidak ada yang peduli. Padahal tempat itu menyimpan sejuta kenangan, setidaknya bagiku sendiri, sebab di sekolah ini penderitaan yang indah terjadi manakala cinta pertama bersemi. Tahun 2018 ini genap 41 tahun kami menjadi alumni. Perubahan jaman dan kemajuan teknologi memberi ruang untuk kembali berelasi dengan sesama alumni melalui WhatsUp Group (WAG). Kekuatan kebersamaan ternyata luar biasa.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam hitungan bulan kami sepakat ber-reuni di Yogyakarta. Uniknya kami membentuk  sebuah negera ‘Republik Sanjaya 1977’ dengan inisiator group sebagai presiden dan semua anggota menjadi menteri kabinetnya. Visi republik kami : happy, healthy, dan harmony.

Sedangkan tujuan negara adalah Seduluran Saklawase (persaudaraan selamanya). Sampai dengan akhir tahun 2018, warga negara masih 30 orang, dari total kira-kira 80 orang jumlah siswa 2 (dua) kelas yang semestinya. Beberapa rekan kami sudah almarhum dan yang lain belum terdeteksi untuk bergabung.

Bulan Desember tahun 2018 ini adalah saat yang bersejarah, ketika muncul ide untuk mengunjungi guru kami yang rata-rata telah memasuki usia Adiyuswa. Sebagian dari guru kami bahkan sudah dipanggil Tuhan. Pak Mulyadi salah satu guru yang kami kunjungi.

============================================================
============================================================
============================================================