Hariring-Dadang-HPKALAU kita meninjau lebih dekat Kampung Urug dengan sebutan Kampung Budaya sebenarnya agak miris, di kampung ini tidak ada ciri-ciri yang menampakkan bahwa kampung tersebut memang kampung budaya.

Oleh: DADANG H.PADMADIREDJA
Pengamat Budaya

PENDAHULUAN

Kabupaten Bogor, seyogyanya harus berbangga, karena dari seluruh wilayah di Jawa Barat, yang mempunyai ciri Kampung Bu­daya, selain Kampung Naga di Ta­sikmalaya, Cigugur di Kuningan, Cipta Gelar* di Sukabumi, Sin­dangbadang, Kec. Ciomas (hasil Revitalisasi), di Kecamatan Suka­jaya, ada Kampung Budaya Urug yang masih terbilang “asli” dan mempunyai keterkaitan latar be­lakang sejarah yang kuat dengan Kerajaan Sunda Galuh (Pakuan Pajajaan) di abad ke 15 dengan Rajanya yang sangat mashur yak­ni Sri Baduga Maharaja Ratu (H) aji Pakwan Pajajaran (1482-1521).

Salah satu ciri yang sangat mandiri dari wilayah-wilayah yang berkaitan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah sebagai negara agraris selalu ditandai dengan 2 (dua) upacara besar yaitu Sidekah Bumi dan Seren Taun. Di Kerajaan Pajajaran sendiri, karena merupakan pusat kerajaan kegiatan tersebut dike­nal dengan Kuwera Guru Bumi, yang diadakan setiap 8 (delapan) tahun sekali.

Namun di semua kerajaan mandala (bawahan) kegiatan di­laksanakan setiap tahun. Sidekah Bumi dilaksanakan pada saat mau menanam padi, yaitu sebuah bentuk permohonan keda Hyang Widi Wasa atau Hyang Murbawis­es agar tanamannya dimuluskan, dijauhkan dari ancaman keker­ingan, kebanjiran, hama dan musibah lainnya. Mereka (para petani di zaman itu) sangat sadar bahwa bercocok taman sangat bergantung kepada alam. Ada Mahluk yang Hyang (Gaib) yang mengendalikan alam, untuk itu dimohonkan keihlasanNYA agar tanaman mereka terhindar dari marabahaya.

Sedangkan Seren Taun, bi­asanya dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan terima kash (Thanks giving day). Para petani mengucapkan rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh Hy­ang Widi, karena panennya ber­hasil. Kegiatan Seren Taun selain diisi dengan kenduri sebagai ung­kapan rasa syukur juga ada upa­cara “majikeun pare” memasuk­kan padi hasil panen yang sudah “diberesihkan” atau dikeluarkan zakatnya ke Leuit Inten (Indung) yang biasanya dilakukan oleh para pemangku adat atau kokolot (Kampung Urug) kemudian dii­kuti oleh para penduduk lainnya.

Berdasarkan penelusuran penulis dari para kasepuhan yang saat ini sudah meninggal dunia diantaranya Abah Adang, Abah kayod Rajaya, nama Urug sendiri berari Guru (dibalik) dan latar belakang (mitos?) berasal dari keberadaan Nyi Sri Pohaci, Dewi Padi. Ada yang menarik dari kisah Naga Anta yang diceritakan Abah Kayod ini. Sebab menurut pengakuannya dan didukung kes­aksian pala putranya yang waktu itu menjabat Kepala Desa, seumur hidup dirinya tidak pernah me­ninggalkan Kampung Urug selain ke sawah dan ladang, tidak per­nah membaca koran (karena tidak bisa membaca) serta tidak pernah menonton televise serta menden­garkan radio. Namun cerita Naga Anta (folklore) yang diceritakan oleh Abah Kayod ternyata sama persis dengan Budak Mayor dari Pemantun Jawa Barat yang dikum­pulkan Ayip Rosidi.

Cerita lain yang menguatkan bahwa Kampung Urug berlatar belakang pertanian didapat dari Kokolot Ciputat yang saat ini ma­sih menjaga tradisi dengan masih nutu pare, tidak di heleur karena pamali dan takut sama pahing Karuhun. Kampung Urug soran­gan berdasarkan kisah yang se­lalu diceritakan pada saat malam syukuran Seren Taun awalnya dari petualangan Eyang Prabu ( Nilakendra?) yang berjalan dari Bogor kemudian menghilang (ngahyang) di Sipak selama 5 ta­hun serta muncul lagi di Seuni (Provinsi Banten) menghilang lagi dan ahirnya muncul di Kadu Jangkung. Dari Kadu Jangkung kemudian mengembara ke Cipa­tat (Sukajaya) serta ketika ada di persimpangan jalan ke Kampung Urug, Eyang Prabu bersabda.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

“Kelak di tempat itu akan jadi sebuah kawasan pertanian dan menjadi Guru di bidang itu bagi yang lainnya.”

Bukti lain yang menyatakan bahwa Kampung Urug erat kai­tannya dengan dunia pertanian di Kampung tersebut banyak leuit yang merupakan tempat pe­nyimpanan padi, serta beberapa varitas lokal setempat yang umur panennya antara 6 -7 bulan yakni Sri Kuning, Campa, Kewal, Ketan­Bogor, Ketan Campa yang masih ditanam oleh beberapa kasepu­han (kokolot) di Kampung Urug.

SUMBER PERMASALAHAN

Beberapa tahun lalu, saatnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor dip­impin Ir. Adrian Arya Kusumah, Kampung Urug ditetapkan men­jadi Situs Kampung Budaya. Pre­dikat Kampung Budaya tentu saja sangat membanggakan sekaligus memprihatinkan bila dihubung­kan dengan keadaan Kampung Urug saat ini. Kalau kita menin­jau lebih dekat Kampung Urug dengan sebutan Kampung Buda­ya sebenarnya agak miris, di kam­pung ini tidak ada ciri-ciri yang menampakkan bahwa kampung tersebut memang kampung bu­daya. Bandingkan dengan suku Kanekes yang berada di wilayah Banten, saat menginjak tanahnya saja, kita segera tahu dengan pakaian dan bentuk rumah yang memang khas Sunda. Atau ke Kampung Cipta Gelar di Banten Kidul wilayah Sukabumi. Kam­pung Cipta Gelar yang sekarang dipimpin Abah Ugi inipun kental sekali dengan budaya Sundanya, padahal mereka asal-muasalnya dari Kampung Urug.

Begitu juga Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya serta Kampung Cigugur di Kabupaten Kuningan, mempunyai tatanan kehidupan dan pakaian yang khas Sunda. Lalu apa yang di­dapatkan saat berkunjung ke Kampung Urug? Tak ada yang istimewa, selain sebuah rumah yang dinamakan Gedong Ageung yang konon katanya menyimpan banyak sekali kisah di jaman da­hulu. Di Kampung Urug kita tidak mendapatkan anak muda, orang tua (selain kokolot kampung, itu­pun kalau ada tamu ) yang meng­gunakan pakaian Khas Sunda, seperti baju kampret, celana komprang, bahkan tidak satupun warga menggunakan iket khas Sunda (totopong) sebagai tanda bahwa kawasan tersebut kawasan Kampung Budaya.

Hal itu diakui Candra, Sekre­taris Desa Kampung Urug yang menyatakan mulai hawatir den­gan predikat Kampung Budaya sementara tidak ada satupun ciri yang menandakan bahwa kam­pung tersebut kampung budaya selain papan petunjuk di jalan masuk ke Kampung Urug.

Kalau demikian keadaannya, lalu apa yang membedakan kam­pung tersebut dengan kampung lainnya, selain hanya ada rumah adat?

Jawabannya jelas, bahwa yang membedakan Kampung Urug dengan kampung lainnya adalah budaya pertanian. Menurut pen­gakuan kokolot Kampung Urug Tonggoh, Abah Sukardi, sudah sekitar 10 tahun lamanya, ma­syarakat kampung tersebut su­dah meninggalkan tradisi mena­nam padi seperti yang diajarkan leluhurnya. Di Kampung tersebut ada beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar yang berasal dari leluhurnya yaitu tidak men­gurus padi pada hari Jumat, tidak ke sawah pada hari Sabtu dan Senin, serta padi tidak boleh di­heleur, selain ditumbuk ( Sunda L ditutu). Aturan lainnya yang ha­rus ditaati adalah menanam padi varitas setempat dengan serentak dan dalam satu tahun hanya satu kali tanam, bulan lainnya digu­nakan untuk menanam palawija. Namun peraturan tersebut su­dah hampir semuanya dilanggar masyarakat Kampung Urug.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

“Mereka menanam varitas yang berumur panen pendek, sehingga bisa panen 3 kali dalam setahun,” ujar Abah Kardi. Aki­batnya tanam jadi tidak serem­pak, hasil panen jauh menurun karena selain banyak diserang hama penyakit juga kesuburan tanah menurun karena terus-terusan ditanami padi, tidak diistirahatkan dengan selingan penanaman palawija. Dan kalau dihitung-hitung jumlah padi yang dihasilkan dengan penanaman 3 kali hasil panennya dibawah tanaman padi yang ditanam seka­li saja. “Dahulu beras raskin ti­dak laku di kampung kami, seka­rang malah berebut. Ini pertanda bahwa kesejahtraan masyara­kat di kampung ini menurun drastis,”paparnya.

Kebiasaan buruk juga ternya­ta ditunjukkan oleh kokolot Kampung Urug lainnya, mereka tidak berupaya memberikan pen­garahan tentang budaya tatanen tersebut, malah ada juga yang melanggar dengan mengheleur padi. Bahkan ironisnya ada ko­kolot yang menasbihkan dirinya jadi tempat bertanya (semacam dukun) mulai dari rencana per­nikahan, pindah rumah, ingin naik pangkat atau jabatan, minta cepat laku tanah, agar disayang majikan, dll.

“Pokoknya sudah menyim­pang dari tugas utamanya,”tegas Kardi. Kalau hal ini dibiarkan tentu saja varitas padi lokal akan menghilang, dan Kampung Urug sebagai kampung Budaya sudah kehilangan jati dirinya.

“Jangankan jadi kokolot, jadi masyarakat biasa saja saya malu mengaku dari Kampung Urug,” ujarnya lirih. Lalu kalau demikian apa istimewanya Kampung Urug dan apa bedanya denga kam­pung-kampung lainnya.

PEMECAHAN MASALAH

Upaya mengembalikan jati diri Kampung Urug bisa dilaku­kan dengan :

Menganjurkan/mewajibkan melalui kebijakan Bupati Bogor hingga aparat terbawah dan para kokolot agar masyrakat setempat menanam kembali varitas lokal serta kawasan tersebut dijadi­kan plasma nuftah seperti yang dilakukan di beberapa tempat di Kabupaten Cianjur dengan menanam varitas Pandanwangi. Padi atau beras yang dihasilkan masyarakat dibeli dengan harga tinggi oleh Pemkab Bogor atau ada subsidi khusus.

Penataan kembali cara ber­tani yang diamanatkan para le­luhur mereka agar mempunyai ciri mandiri sesuai dengan pak­em yang ada. Dengan demikian Kampung Urug bisa dijadikan tujuan pariwisata serta di tempat tersebut ada tempat kuliner ber­landaskan kearifan dan makanan setempat.

Musyawarah bersama dari seluruh kokolot kampung di­fasilitasi dinas terkait (Disbudpar dan Dinas Pertanian, Kecamatan, dan Desa) untuk menciptakan satu visi mengembalikan Jati diri Kampung Urug atau melibatkan lembaga kebudayaan lain yang peduli dengan pelestarian Kam­pung Urug. (*)

============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR

  1. Salam…
    Pembahasan yang sangat menarik mengenai Kampung adat Urug.
    kalau boleh, tolong kirim alamat atau nomor kontak DADANG H.PADMADIREDJA ke email pribadi saya. kebetulan ingin mewancarai beliau mengenai tugas akhir saya. terima kasih 🙂