oleh: Muhammad Aditya Pradana

Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik UI Depok


Gegap gempita Pilkada serentak 2018 yang diprediksi banyak pihak akan rawan potensi konflik ternyata belum terbukti hingga saat ini, salah satu penyebabnya adalah karena kondisi partai di daerah-daerah yang cenderung bisa lebih cair dan terbuka untuk bekerjasama dan berkoalisi satu dengan yang lainnya. Partai-partai yang pada Pilpres 2014 lalu tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Joko Widodo, kini dapat bekerjasama pada Pilkada 2018 dengan partai-partai pendukung Prabowo Subianto yang dulu tergabung di dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Walaupun memang ada juga partai-partai yang sebelumnya merupakan anggota KMP, berbalik arah dengan menjadi pendukung pemerintah, seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Pilkada serentak kali ini sangat penting baik bagi partai-partai koalisi yang berada di dalam pemerintahan maupun partai-partai koalisi oposisi yang berada diluar pemerintahan, karena gelaran Pilkada 2018 ini diselenggarakan di 171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Jika dilihat dari segi kedekatan waktu, Pilkada 2018 ini pun hanya berjarak beberapa bulan saja dengan pemilu serentak di tahun 2019 yang akan memilih secara langsung anggota DPD dan DPR (legislatif), hingga Presiden dan Wakil Presiden. Tentunya hasil dari Pilkada 2018 ini dapat menjadi refleksi sekaligus pemetaan awal bagi partai-partai koalisi yang sedang berkuasa maupun partai-partai oposisi untuk mengatur strategi politik dalam memenangkan kontestasi Pilpres pada tahun 2019 nanti.

Berbeda dengan Pilkada 2018 yang sejauh ini kondusif, pada Pilpres 2019 nanti diprediksi akan jauh lebih panas ketimbang Pilpres tahun 2014 lalu. Terlebih apabila kembali mempertemukan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, tentunya ini akan kembali membuka memori lama serta mengkristalisasi persaingan yang pernah terjadi diantara dua kubu yang pada saat itu berseteru. Tidak hanya sampai disitu, polarisasi masyarakat yang terbentuk semenjak Pilpres 2014 lalu dengan terbelah menjadi dua kubu dan saling berhadapan sebagai pendukung Jokowi dan Prabowo, kembali terulang lagi di Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berakhir dengan kemenangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur, serta penahanan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai terpidana kasus penistaan agama. Walaupun sebatas Pilgub DKI Jakarta, tetapi perseteruan ini tidak hanya melibatkan warga-warga Jakarta saja, tetapi juga melibatkan masyarakat secara nasional yang ikut terbelah secara politik dengan menjadi pendukung Anies dan Ahok.

BACA JUGA :  Rendah Fluktosa, 4 Makanan ini Baik untuk Penderita Diabetes

Menunggu Langkah Nyata Oposisi

            Pertanyaan yang timbul saat ini, apakah benar-benar ada partai oposisi di Indonesia? Karena partai oposisi saat ini seperti kehilangan fungsinya. Jika dibandingkan dengan reformasi yang terjadi di Malaysia beberapa waktu lalu dengan terpilihnya kembali Mahathir Mohamad sebagai perdana menteri Malaysia dari koalisi oposisi, terlihat betapa solidnya koalisi yang dibangun dan begitu beratnya dalam perjuangan meruntuhkan rejim koalisi Barisan Nasional yang telah berkuasa selama 60 tahun. Posisi partai oposisi di Indonesia belum terang benderang, belum ada langkah nyata dari peran partai oposisi yang dampaknya dapat terasa di masyarakat. Partai oposisi baru hanya sebatas mengamankan posisi untuk bertahan dan mengamankan suara konstituen mereka, sejalan dengan itu masyarakat menunggu langkah-langkah nyata serta manuver dari partai-partai oposisi yang sepatutnya berfungsi sebagai corong suara dari masyarakat untuk mengawal, mengkritisi dan mengoreksi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak pro kepada rakyat.

            Menguatnya pragmatisme dan melunturnya ideologi di kalangan partai-partai politik menjadi realita yang terjadi dalam sistem perpolitikan di Indonesia, partai-partai seakan takut dan tak bisa hidup jika berada diluar kekuasaan. Alan Ware (1996) dalam Political parties and party systems, Oxford University Press, menyatakan bahwa partai politik pada umumnya bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya karena adanya unsur pembeda yaitu berdasarkan ideologinya, dan partai yang akan mampu bertahan adalah partai yang berbasis kepada ideologi. Saat ini koalisi partai oposisi hanya menyisakan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) tidak berada di dalam pemerintahan tetapi juga tidak berada lagi di dalam koalisi oposisi. Sedangkan Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) berbalik arah mendukung pemerintah. Walaupun beberapa waktu lalu terlihat ketua umum PAN yang juga menjabat ketua umum MPR-RI terlihat bersama Prabowo Subianto, dan Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais juga hadir dalam peresmian Sekretariat Bersama Pemenangan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, tetapi PAN belum secara resmi mengumumkan kepada siapa dukungan akan diberikan.

BACA JUGA :  Kcewa dengan Wasit, STY Sebut Laga Timnas Indonesia vs Qatar Seperti PertunjukanKomedi

            Fenomena yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dengan adanya gerakan sosial  seperti Aksi Bela Islam, 212, 411, serta pergerakan lainnya di dalam umat Islam berawal dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada saat itu, terus menggelinding seperti bola salju dan membesar hingga saat ini. Sebut saja seperti kasus kriminalisasi ulama, sertifikasi ustadz hingga terbitnya rujukan 200 nama-nama ustadz yang dianggap tidak radikal oleh kementerian agama, persekusi kepada sebagian umat Islam akibat dari bom yang terjadi di Surabaya dan beberapa tempat lainnya yang secara tidak langsung telah memecah belah persatuan yang ada ditengah masyarakat.

Belum lagi isu-isu yang masih hangat ditengah masyarakat seperti kelaparan, gizi buruk, janji-janji kampanye dari Joko Widodo yang belum terealisasi hingga 4 tahun pemerintahannya ini, serta semakin terperosoknya perekonomian Indonesia dengan semakin melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD hingga 14.119 (per 27 Mei 2018). Sudah seharusnya koalisi oposisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi motor penggerak, melalui elite-elite partainya agar dapat berkomunikasi dan berkonsolidasi dengan partai-partai lainnya yang berada diluar kekuasaan untuk bersatu dalam perjuangan menatap Pilpres 2019 tahun depan. Bukan hanya sekedar adu tagar dan saling claim mengenai #2019GantiPresiden melawan #DiaSibukKerja yang hanya merupakan gimmick dan tidak memperluas basis perolehan suara yang akan berdampak kepada keuntungan elektoral pada Pilpres 2019 nanti.

============================================================
============================================================
============================================================