Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Tentu bukan dengan cara-cara formal di kelas-kelas melainÂkan dengan modus operandi khas siswa yang beranjak remaja dengan segala tingkah lakunya. Geng moÂtor, bullying, stratifikasi senior-junior, tawuran adalah sebagian kata-kata kunci bagaimana steÂreotype kekerasan tersemat pada siswa-siswa tersebut.
Berulang kali dan terus saja terjadi di lingkungan pendidikan, seperti tak kapok-kapoknya, paÂdahal korban jiwa hampir hampir selalu berjatuhan. Fenomena sepÂerti ini tentu saja mesti diminimalÂisasi dan kalau mungkin dihentiÂkan sama sekali karena kekerasan amat merugikan pihak pelaku dan korban kekerasan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Menghadapi peristiwa keÂkerasan di sekolah dan antar sekoÂlah, dalam hal ini pihak sekolah hendaknya mempersiapkan cara-cara preventif dan persuasif keÂpada para siswa. Tentu bukan hal mudah, karena psikologi remaja cenderung menyukai hal-hal yang memberontak, tak ikut aturan, dan acuh dengan kebijakan.
Pertama, pihak sekolah mengintensifkan guru bimbingan dan penyuluhan (BP/BK) sebagai garda depan dalam membina siswa yang dianggap “bermaÂsalahâ€. Bukan dengan cara-cara menghukum, melainkan dengan pendekatan yang manusiawi dengan mengedepankan hak-hak asasi siswa. Bimbingan dan peÂnyuluhan hendaknya bukan lagi menjadi tempat “angker†yang ditakuti siswa melainkan tempat yang asyik sebagai sarana memÂperbaiki perilaku yang menyimÂpang dari norma-norma sekolah.
Kedua, untuk mengantisipasi adanya stratifikasi senior dan junior yang hampir selalu ada di setiap sekolah, hendaknya piÂhak sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan para guru melibatÂkan semua siswa dalam berbagai kegiatan yang positif sebagai upaya meredam kesenjangan koÂmunikasi antar siswa senior dan junior.
Ketiga, selain tugas akademik yang memang sudah menjadi keÂwajibannya, pihak sekolah memÂberikan kesempatan dengan meÂwajibkan seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sehingÂga tidak ada waktu lagi untuk hal-hal yang negatif.
Keempat, bekerjasama denÂgan orang tua siswa, pihak sekoÂlah melakukan kontrol perilaku siswa baik ketika sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikiÂan, pengawasan dari kedua belah pihak, sekolah dan orang tua, memperkecil ruang gerak anak.
Kelima, para guru hendaknya menyisipkan pendidikan anti keÂkerasan dalam mata pelajaran yang diampunya. Setidaknya jika hal ini dilakukan secara konsisten bukan tidak mungkin si anak lambat laun dapat membaca dan mengintrospeksi dirinya sehingÂga dapat berjalan ke arah yang lebih baik.
Keenam, jika pula langkah-langkah diatas megalami kesulitan untuk diimplementasikan, maka lankar terakhir adalah pihak sekoÂlah dapat melakukan komunikasi dan kerjasama dengan aparat penegak hukum baik kepolisian ataupun TNI yang terdekat denÂgan sekolah, dalam mengawasi dan mengontrol prilaku negatif, seperti berada di luar sekolah pada jam sekolah berlangsung, membolos dan lainnya.
Semoga langkah-langkah tersebut dapat berhasil meminimalÂisasi dan/atau menghentikan terÂjadinya kasus-kasus kekerasan di sekolah yang melibatkan oknum siswa. (*)