Oleh: NURSAMSI
Asesor lembaga sertifikasi profesi komputer dan anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo)
Masyarakat EkonoÂmi ASEAN (MEA) 2015 telah dimulai bersamaan dengan tahun baru 2016. Bagi Indonesia, pasar bersaÂtu di kawasan Asia Tenggara ini buÂkan saja memiliki konsekuensi di bidang kesiapan ketenagakerjaan, tapi sektor riil juga terkena imbas.
Kita masih ingat ketika awal September 2015, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menembus angka Rp 14 ribu per dolar. Kondisi itu sangat berat bagi para importir, dan berujung dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) di indusÂtri yang punya kandungan impor semisal barang elektronik dan teknologi informasi (TI). Tidak ada kepastian harga jual ke konsumen.
PHK diakibatkan tuntutan efisiensi dan bangkrut. Padahal, pemerintah sudah memberlakuÂkan kewajiban pembayaran baÂrang dalam mata uang rupiah di wilayah Indonesia.
Masalah lain yang dialami oleh pengusaha adalah pemberlakuan aturan pengadaan barang dan jasa untuk barang elektronik, alat tulis kantor, dan teknologi informasi, yang harus menggunakan e-CataÂlog dan e-Purchasing.
Sosialisasi pemerintah kepada para pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minim, seÂhingga mereka tidak mendapatÂkan “kue†proyek pengadaan baÂrang dan jasa yang tahun-tahun sebelumnya bisa didapatkan meÂlalui penunjukan langsung mauÂpun lelang.
Berkaitan dengan MEA, walauÂpun pemerintah sudah melakukan sosialisasi secara terus menerus, dampaknya bagi tenaga kerja dan pengusaha UMKM akan sangat memberatkan di semester pertaÂma tahun 2016.
Pasalnya, kesiapan dan kepedulian para (calon) tenaga kerja dan pengusaha tidak ada. Kompetisi yang sangat berat para pencari kerja dan ancaman PHK tenaga kurang terampil akan munÂcul ketika para tenaga kerja luar negeri masuk ke Indonesia secara bebas.
Degradasi pada (calon) pekerÂja lokal akan muncul sehubungan dengan tingkat kompetisi dengan pekerja pendatang dari luar negÂeri.
Tak hanya pasar bersatu MEA, hubungan bilateral yang kian mesra dengan Tiongkok membuat mereka mampu menguasai pasar domestik. Kita tidak ingin sektor usaha khususnya kelas UMKM haÂrus mati karena tidak mampu berÂsaing dengan masuknya produk dari sembilan negara lainnya.
Perlu tingkatkan daya saing
Banyak hal yang bisa diÂlakukan untuk menyelamatkan produk dalam negeri oleh pemerÂintah, namun hal terpenting yang sebaiknya dilakukan adalah meÂningkatkan daya saing Indonesia.
Berdasarkan indeks daya saing global (Global Competitiveness InÂdex/GCI), Indonesia kembali naik ke peringkat 34 dari 144 negara, sebagaimana dilansir World EcoÂnomic Forum dalam Global ComÂpetitiveness Report 2014-2015.
Di level ASEAN, peringkat InÂdonesia ini masih kalah dengan tiga negara tetangga, yaitu SinÂgapura yang berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 20, dan Thailand yang berada di peringkat ke-31.
Namun demikian, posisi IndoÂnesia ini masih mengungguli FiliÂpina yang berada di peringkat 52, Vietnam di peringkat 68, Laos di peringkat 93, Kamboja di peringÂkat 95, dan Myanmar di peringkat 134.
Ada beberapa hal yang menÂjadi faktor kurang bagusnya daya saing Indonesia. Menurut kajian Kementerian Perindustrian, fakÂtornya mencakup kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, serta produktivitas tenaga kerja.
Belum ada titik terang solusi lemahnya pengawasan produk-produk impor, penyelundupan, isu keamanan yang mengganggu investasi, serta mahalnya tarif terminal handling charge. Kita menunggu janji penurunan dwellÂing time, apakah dilakukan secara konsisten.
Ada beberapa cabang indusÂtri yang perlu ditingkatkan daya saingnya agar dapat mengamankÂan pasar dalam negeri, yaitu caÂbang otomotif, elektronik, pakaian jadi, alas kaki, funitur, makanan dan minuman. Dan satu hal yang berpeluang mempunyai daya saÂing yang tinggi adalah, Indonesia sebagai salah satu penghasil kopi Arabika terbaik dunia.
Dan mungkin beberapa caÂbang industri lain Indonesia masih lebih unggul dari negara tetangga, akan tetapi pada sektor industri jasa Indonesia dianggap sama sekali tidak memiliki keunggulan.
Isu lain adalah upah minimum, kepastian hukum, biaya transporÂtasi barang yang masih terlau maÂhal, kualitas sumber daya manusia yang tercermin pada indeks pemÂbangunan manusia, sampai mutu pendidikan dan kesehatan.
Yang paling krusial adalah membenahi infrastruktur serta biaya logistik. Saat ini IndoneÂsia biayanya mencapai 16 persen dari total biaya produksi padahal normalnya hanya berkisar 9-10 persen. Kita berharap Indonesia National Single Window berjalan efektif untuk menurunkan biaya logistik. (*)