Oleh: Bahagia (Dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Pemikiran kota berkelanjutan berkaitan dengan kota bebas bencana alam. Hanya saja bencana kekeringan dan kebanjiran nampak tak berhenti setiap kali musim kemarau berlalu. Ukuran sebuah kota berkelanjutan pada saat kerusakan lingkungan dapat diatasi. Kerugian secara sosial dan ekonomi sebagai dampak akibat bencana alam.

Sementara kota berkelanjutan jika perkotaan tidak lagi mengalami masalah sosial, lingkungan dan ekonomi. Bencana banjir salah satu bencana tak bisa diselesaikan. Intensitas kejadian bencana ini juga terus meningkat sehingga mitigasi bencana ini perlu dipertanyakan. Kejadian bencana secara nasional bertambah dari 420  kejadian (2015) naik menjadi 775 kejadian (2016).

Pada tahun (2018) bencana juga nampak diberbagai kota di Indonesia. Kejadian bencana pada tahun lalu bukan sebagai cara untuk mencari langkah mitigasi pada tahun berikutnya. Bahkan, bertahun-tahun musim penghujan sudah dilewati tetapi tak pernah bencana banjir dapat diatasi. Setidaknya terdapat beberapa hal menjadi masalah disini.

Pertama, monitoring terhadap iklim tidak dibarengkan dengan solusi permanen untuk mengatasi bencana. Padahal prediksi musim penghujan sudah jelas ada data dari pihak BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika). Data musim penghujan bukan untuk disimpan tetapi digunakan untuk mengatasi bencana.

BACA JUGA :  Hadirkan Program ARIT PA ARI Selama Bulan Ramadhan, Untuk Tingkatkan Masyarakat Taat Pajak Kendaran

Saat intensitas bencana banjir semakin sering maka kerusakan bentang lahan semakin parah. Kerusakan itu mulai dari kerusakan kawasan hulu sungai, alihfungsi lahan, dan kurangnya kreativitas serta inovasi penanganan banjir. Bertahun-tahun relokasi warga, perusahaan, dan perumahan serta pertanian tidak terealisasi pada kawasan hulu sungai.

Bahkan, jumlah bangunan semakin padat dan terjadi kesenjangan pembangunan antara kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Sekitar 60 persen dari total penduduk di Indonesia bermukim di Pulau Jawa dan penduduk Indonesia berkisar sekitar 255 juta jiwa.

Kemampuan perkotaan untuk menampung jumlah penduduk melebihi ruang yang tersedia. Selanjutnya alihfungsi kawasan lahan sawah menjadi jalan raya dan bangunan tak berhenti. Padahal pengembangan industri tidak harus pada pusat kota di Jawa. Perusahaan bisa dibangun pada kawasan Papua dan Kalimantan sehingga terjadi keseimbangan.

BACA JUGA :  Kasus DBD Melonjak, Kota Bogor Siap Lakukan Gerakan Jumantik Lebih Masif

Keseimbangan sangat perlu dengan cara mengirimkan mereka ke daerah-daerah sehingga konflik sosial desa berkurang. Misalkan, pengangguran didesa bisa dikurangi. Kedua, gagalnya pembangunan bersifat terintegratif dan berkelanjutan. Pembangunan harus menggunakan toleransi ekologis. Pembangunan perumahan, mal, pusat belanja, jalan raya, industri, pertanian, dan kampus serta sekolah harus berbarengan dengan pertimbangan ekologis.

Setidaknya setiap pembangunan berperan penting untuk mengurangi masalah banjir. Meskipun apabila bangunan telah dibedirikan maka ruang resapan berkurang sehingga mengurangi daerah resapan air hujan. Satu sisi peran penting dari sektor usaha tersebut untuk perbaikan ekologis masih perlu diperbaiki. Aksi mereka untuk melestarikan lingkungan masih kurang.

Bahkan, tidak mengeluarkan dana untuk lingkungan. Selain itu, ijin dari pemerintah daerah untuk pembangunan terkesan terlalu mudah. Akhirnya pertimbangan ekologis kurang diperhatikan. Adanya ijinlah yang pertama kali membuat kebebesan pembangunan. Kemudian, perencanaan pembangunan kota tak menentu arah.

============================================================
============================================================
============================================================