Oleh: FIDELIS REGI WATON
Alumnus Filsafat Politik Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman

Kedua anekdot beri­kut mengadung mosi tidak percaya sekal­igus sebagai dentang kematian kepercay­aan politik rakyat terhadap para wakilnya. Anekdot pertama: Bus rombongan anggota DPR yang lagi reses tergelincir masuk ju­rang. Banyak warga mendatangi tempat kecelakaan dan dengan sigap melakukan penguburan massal. Polisi yang telat ke lo­kasi kejadian bertanya: “Apakah Bapak-Ibu yakin mereka sudah mati? Kok langsung dikuburkan semuanya?“ Para warga men­jawab dengan kompak: „Maaf Pak, sebenarnya tadi ada yang berteriak-teriak dan bilang masih hidup. Tapi Bapak tahu sendiri kan, omongan mereka tidak bisa dipercayai.”

Anekdot kedua: Ibu guru ber­tanya kepada siswa-siswinya di kelas: “Anak-anak, seandainya pesawat Boeing 747 menabrak gu­nung dan penumpangnya adalah semua anggota DPR, berapa orang yang selamat?” Dengan su­ara bulat muncul jawaban: “270 juta rakyat Indonesia, Bu”.

Kepercayaaan dan politik di­kategorikan sebagai tema sentral dalam kehidupan bersama yang bebas dan demokratis. Kedikta­toran hidup dari ketakutan rakyat terhadap otoritas politik, sedang­kan nadi demokrasi adalah kred­ibilitas.

Secara politis dibedakan an­tara kredibilitas pribadi dan insti­tusi. Kepercayaan pribadi diper­oleh pihak yang kompeten, benar dan adil. Jika seseorang adil dan benar, namun tidak kompeten, ia tidak mendapat banyak keper­cayaan. Jika seseorang kompe­ten, tetapi kompetensinya hanya digunakan untuk keuntungannya sendiri, maka ia tidak adil dan akan kehilangan kepercayaan. Keadilan, kebenaran dan kom­petensi tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan institusi berkaitan dengan personil terpercaya yang merepresentasikannya. Institusi yang dipercayai harus tidak me­mihak, sinerjis, setia pada aturan dan tugas pelayanan masyarakat.

Kredibilitas merupakan kat­egori fundamental sistem de­mokrasi. Demokrasi lahir dari kemauan dan pilihan bebas para warga untuk bekerja sama ber­dasarkan aturan main tertentu. Demokrasi tidak akan berjalan jika terdapat fenomen ketidakper­cayaan dan kebohongan sistema­tis. Andaikan masyarakat dilanda ketidakpercayaan, maka lenyap kemauan untuk bekerja sama.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Dalam masyarakat transisi dari kediktaturan ke demokrasi bertengger kuat rasa sangsi dan curiga, karena negara hukum maupun demokrasi liberal belum sanggup menjamin kepastian partisipasi publik. Kepercayaan lazimnya hanya beroperasi pada zona privat. Iklim kepercayaan sosial baik pada level vertikal maupun horisontal masih terkon­taminasi. Masyarakat transisi di­tantang untuk mengubah kondisi kesangsian permanen.

Menurut Thomas Hobbes se­cara alamiah manusia berkompe­tisi untuk mempertahankan hid­up (struggle of life) dan mengintai keuntungan pribadi. Yang lain dipatok sebagai musuh. Homo homini lupus – manusia adalah serigala bagi sesamanya. Berbeda dengan Hobbes, John Locke men­gatakan bahwa secara alamiah manusia menghirup oksigen sal­ing percaya. Meskipun begitu selalu saja ada yang bohong dan curang, sehingga orang mesti hijrah dari suasana alamiah dan mengonstruksi institusi sos­ial dengan sistem hukum atau aturan bersama.

Hidup bersama dalam ma­syarakat hanya bisa berfungsi jika kita saling mempercayai, jika saya percaya bahwa orang lain bisa berbuat baik. Jika saya mempercayai seseorang, maka saya terdahulunya percaya ke­pada diri sendiri, karena saya ha­rus berkalkulasi bahwa saya bisa dikecewakan. Siapa yang takut dikecewai, ia tidak bisa memberi­kan kepercayaan sejati kepada orang lain. Diplomat Perancis Francois Rochefoucauld mema­tok percaya diri sebagai sumber percaya kepada yang lain. Per­caya kepada orang lain dan per­caya kepada diri sendiri bercorak resiprokal.

Bagaimana caranya agar med­ali emas kepercayaan bisa diraih? Dalam karyanya Kritik der Urteil­skraft (Kritik atas putusan) Im­manuel Kant menekankan betapa penting korelasi antara “common sense” (akal sehat) dan “respon­sibility” (tanggung jawab). Keper­cayaan politik dengan basis akal sehat dan tanggung jawab seyo­gyanya mengindahkan beberapa maksim (prinsip).

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Pertama, otonomi atau in­dependensi dalam berpikir yang diinspirasi ajakan kedewasaan rasional mahzab pencerahan “sapere aude” (beranilah meng­gunakan akal budimu sendi­ri). Seorang pemimpin publik bukanlah pembeo program par­tai. Ia harus sanggup melahirkan pandangan dan konsep pribadi. Di sini tertuang wacana otentisi­tas: Ia mengatakan apa yang dip­ikirkannya dan melakukan apa yang dikatakannya.

Kedua, berpikir bulat (prinsip koherensif). Seorang politikus tidak harus selalu mengatakan yang sama, ia juga boleh men­gubah pendapatnya, namun ia harus sanggup melandaskannya, mengapa ia mengubah pandan­gannya (legitimasi). Setiap saat berpikir bulat juga berarti ia senantiasa sadar akan apa yang telah dipikirkan, dikatakan dan dilakukannya (refleksi).

Ketiga, prinsip keseimbangan sebagaimana testimoni asas hu­kum Romawi “audiatur et altera pars” (mendengarkan pihak lain). Sang pemimpin menempatkan diri dalam cara pandang dan piki­ran orang lain, ia sanggup menem­patkan diri dalam yang lain. Den­gan itu ia mampu mengetahui dengan baik apa yang diharapkan orang lain darinya dan gampang mendekati kehendak umum.

Mungkin tidak gampang diim­plementasi ketiga prinsip bernas ini. Namun cuma dengan cara ini seseorang layak dipercayai dan memenangkan kepercayaan sebagai aset atau modal sosial yang penting dan strategis. Menu­rut Robert Putnam modal sosial merupakan satu-satunya kapital yang tidak pernah defisit atau berkurang, jika diinvestasikan. Ia akan selalu membesar dan produktif (menghasilkan kom­ponen-komponen sosial yang ekspansif ke tengah pelbagai jar­ingan dan pranata publik).

sumber: satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================