SETELAH usai menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan adanya sejumlah calon kepala daerah yang berharta minus. Artinya, sang calon kepala daerah itu memiliki utang yang melebihi jumlah hartanya.
Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
KPK mencurigai, calon kepala daerah yang berharta minus itu memperoleh biaya kampanye dari sponÂÂsor tertentu. Dikhawatirkan, jika terpilih menjadi kepala daerah, ia akan membayar utang sponsor itu dengan memanfaatkan angÂÂgaran pendapatan dan belanja daerah serta izin konsesi sumber daya alam setempat.
Besarnya utang yang dimilÂÂiki calon kepala daerah mungkin berkaitan erat dengan besarnya biaya yang harus ditanggung unÂÂtuk dapat melenggang resmi seÂÂbagai calon kepala daerah serta yang dibelanjakan untuk kampaÂÂnye pemilihan kepala daerah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa jika seorang kader partai digadang-gadang untuk menjadi calon anggota legislatif atau pun calon kepala daerah, maka yang bersangkutan dituntut memberiÂÂkan mahar dengan jumlah yang fantastis. Akibatnya, jika kader itu terpilih, maka untuk mengemÂÂbalikan modal mahar serta biaya kampanye pilkada yang telah dikeluarkan, tak ada jalan lain kecuali mengandalkan kekuasaaÂÂnnya dengan melakukan penyÂÂelewengan.
Fungsi utang
Sesungguhnya, adalah hal biÂÂasa jika orang berutang. Apalagi, jika yang berutang itu seorang pengusaha. Dalam dunia usaha, utang difungsikan sebagai penÂÂgungkit, sehingga kapasitas usaha dapat didongkrak menjadi lebih besar daripada jika dijalankan tanpa utang. Harapannya, omset usaha akan meningkat dan laba pun berlipat.
Utang juga sering dianggap merefleksikan kredibilitas seseorang. Hanya orang yang dipercaya sajalah yang memperoleh kesempatan berutang. B a h k a n , bank-bank akan berlomba menawarkan pinjaman kepada orang yang dianggap memiliki kredibilitas dan kemampuan membayar yang meyakinkan.
Kemampuan membayar lazÂÂim dilihat dari future cash inflow yang akan dihasilkan oleh debiÂÂtur di masa mendatang, setelah usahanya memanfaatkan utang tersebut. Dalam beberapa kasus, ketika future cash inflow sangat menjanjikan, utang bahkan diÂÂberikan walaupun tiada agunan yang diserahkan.
Hal inilah yang tampaknya terjadi dalam kasus calon kepala daerah yang maju dalam konÂÂtestasi pilkada serentak beberapa waktu lalu. Entah apa yang telah dijanjikan, bagaimana future cash inflow yang digambarkan, sehingga ada pihak-pihak yang bersedia menggelontorkan pinjaÂÂman yang keseluruhan jumlahnÂÂya melampau harta sang calon kepala daerah.
Pertanyaan yang patut diajuÂÂkan kepada para kreditur adalah, apa yang akan terjadi dengan utang yang telah mereka berikan, jika sang calon kepala daerah ternyata gagal dalam kontestasi pilkada, sedangkan mereka tidak menguasai agunan sama sekali?
Para cuÂÂkong politik barangkali perlu belajar dari apa yang lazim diterapkan dalam dunia usÂÂaha, yakni pengÂÂgunaan beragam rasio untuk menilai kelayakan pembeÂÂrian utang kepada sebuah usaha.
Dari beragam rasio keuangan yang biasa dimanfaatkan dalam dunia usaha, misalnya kita dapat menilai debt to equity ratio (DER), yakni perÂÂbandingan total utang dengan total harta sendiri (modal) sang calon kepala daerah.
Nilai DER 1 berarti setiap Rp 1 utang dijamin dengan Rp 1 harta sendiri, atau jumlah utang yang dimiliki persis sama dengan harÂÂta sendiri. Artinya, apabila sang calon kepala daerah gagal terpilih dan kehilangan kemampuan unÂÂtuk membayar kembali utangnya, tersedia cukup harta untuk dijual guna melunasi seluruh utang. DenÂÂgan demikian, semakin tinggi nilai DER, semakin terpercaya keuanÂÂgan sang calon kepala daerah.
Sayangnya, informasi mengeÂÂnai harta dan utang calon kepala daerah itu hanya dilaporkan keÂÂpada KPK dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dan tidak bisa dengan segera diketahui oleh masyaraÂÂkat. Padahal, masyarakatlah yang memiliki hak pilih dan yang kelak akan dipimpin oleh calon kepala daerah tersebut.
Di masa mendatang, perlu disusun aturan yang mengharusÂÂkan setiap calon kepala daerah untuk melaporkan secara rinci dan terbuka harta, utang, serta informasi keuangan penting lainÂÂnya, sehingga selain visi dan misi, calon pemilih pun berkesempaÂÂtan menilai kredibilitas keuangan calon pemimpin mereka. (*)