2581515971523---11_05_2010BANK Indonesia (BI) tengah berdiskusi dengan pelaku pasar keuangan nasional maupun global terkait kemungkinan mengubah kebijakan suku bunga acuan, yang selama ini berpatokan pada BI rate.

Oleh : Yuska Apitya
[email protected]

Harap tunggu penjelasan resmi kami Jumat nanti,” ujar Deputi Senir BI Mirza Adityas­wara, Rabu (13/4/2016). Pada prinsipnya, sambung Mirza, tolak ukur untuk menentu­kan suku bunga nantinya akan diterapkan berdasarkan praktik terbaik dari operasi kebijakan moneter bank-bank sentral di dunia.

Sebelumnya dilaporkan, BI akan mengadopsi tingkat reverse repurchase (REPO) 7 hari sebagai suku bunga acuan. Ini berarti menggeser BI rate yang se­lama ini digunakan sebagai referensi.

Sejak Juli 2005, acuan suku bunga berkiblat pada kebijakan moneter yang ditetapkan BI. Namun, ke­mungkinan perubahan benchmark tidak berarti mengubah pendirian bank sentral dalam pengambilan kebijakan mon­eter dari sisi tingkat bunga.

Namun banyak analis meni­lai bahwa BI rate tidak kredibel dalam mencerminkan kondisi pasar. Saat rupiah mengalami pergerakan, suku bunga acuan BI ini relatif stag­nan.

Riset Deutsche Bank menyebut­kan, suku bunga acuan overnight rate (tingkat bunga antar bank den­gan jangka waktu satu malam) lebih relevan digunakan karena lebih ses­uai dengan kondisi pasar. Praktik ini sudah banyak digunakan dalam utang perusahaan.

“Jika diterapkan, perubahan ini akan positif bagi bank dan memper­luas pasar kredit secara keseluru­han,” imbuh Raymond Kosasih, Ana­lis Deutsche Bank.

Secara umum, dengan atau tanpa risiko intervensi, ia menilai, kemung­kinan Indonesia mengalami penu­runan struktural dalam suku bunga. Ini akan berakibat pada perolehan margin bunga bersih alias Net Inter­est Margin/NIM.

Menteri Koordinator Bidang Per­ekonomian Darmin Nasution men­dukung rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menambah instrumen baru dalam penentuan arah kebi­jakan moneter demi mengontrol likuiditas dan inflasi secara bersa­maan.

Pernyataan mantan Gubernur BI ini merujuk pada rencana acuan atau benchmark moneter baru yang dikabarkan bakal berupa reverse re­purchase agreement (Repo).

Meski dinilai mendukung peng­gunaan reverse Repo, Darmin me­nampik pandangan berbagai pihak yang menilai BI rate tak lagi kredi­bel dalam menyikapi kondisi pasar keuangan saat ini.

BACA JUGA :  Menu Sarapan dengan Cah Kangkung Bawang Putih yang Harum Menggugah Selera

Menurutnya, BI rate masih mampu menopang pilar kebijakan moneter yang ditempuh oleh BI, salah satunya upaya pengendalian inflasi. «Tapi sebenarnya, tidak ada instrumen yang bisa menegakkan (pilar) itu dengan baik (sangat efek­tif ),» ujar Darmin di kantornya, Rabu (13/4/2016).

Darmin mengungkapkan, dima­sukkannya benchmark terbaru tadi merupakan langkah kebijakan mon­eter yang diambil BI guna mengak­selerasikan instrumennya dalam menyikapi kondisi pasar yang ada.

Sebab, sikap BI dalam men­egakan kebijakan moneter yang ketat dan konservatif selama ini didorong oleh kekhawatiran akan gejolak infla­si domestik yang timbul oleh likuidi­tas berlebih di pasar akibat ekspansi dan kontraksi pasar keuangan.

Kekhawatiran tersebut pernah ditunjukan dengan penerbitan Serti­fikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 3 bulan yang bertujuan menyerap likuiditas berlebih dari uang yang beredar di masyarakat.

Namun teori tersebut dipatah­kan oleh Darmin, lantaran ada fak­tor lain yang memiliki andil besar dalam melambungkan laju inflasi selain peningkatan uang beredar (likuiditas), yakni gejolak harga pan­gan pokok. «Di Indonesia, inflasi itu adalah urusan harga beras, bawang dan cabai. Oleh karena itu perlu di­cari alat kebijakan lain yang lebih pu­nya instrumen dan lebih efektif untuk mempengaruhi apa yang ingin dituju dalam kebijakan moneter,» cetusnya.

Selama ini, Darmin melanjutkan BI sejatinya mempunyai satu tujuan tunggal yakni mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah.

Hal ini mengandung dua aspek yakni kestabilan nilai mata uang ru­piah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi; serta ke­stabilan nilai mata uang rupiah ter­hadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar. Perkembangan nilai tukar lah tersebut yang akhirnya mempenga­ruhi adanya arus modal asing. «Kurs memang termasuk yang merupakan sasaran tujuan kebijakan BI, tapi yang utama adalah pengendalian inflasi bukan kurs. Karena itu bikin­lah sesuatu yang lebih pas,» jelasnya.

BACA JUGA :  Cemilan Simple dengan Cireng Empuk Renyah dengan Bahan Murah Meriah

Lebih jauh Darmin mengaku su­dah ada pembicaraan mengenai arah kebijakan moneter yang ditempuh oleh otoritas moneter.

Ia mengatakan recana BI untuk mengubah benchmark BI rate men­jadi reverse repo berjangka 7 hari sudah sesuai dengan yang diharap­kan oleh pemerintah. «Kita sudah beberapa kali rapat. Kita tidak bisa jelaskan apa-apa. Biarkan BI yang mengambil langkah. Intinya itu se­jalan dengan apa yang diharapkan pemerintah,» tandas Darmin.

Terkait hal ini, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyambut hangat rencana Bank Indonesia (BI) menge­luarkan instrumen baru moneter guna mengubah acuan suku bunga bank yang selama ini berpatokan pada BI. Instrumen moneter baru yang kabarnya berupa reverse re­purchase (REPO) deposito berjangka tujuh hari ini dinilai bisa mendorong likuiditas perbankan.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri mengungkap­kan, selama ini ada disparitas yang lebar saat perbankan mengacu pada BI rate dalam menetapkan tingkat bunga pinjaman (lending rate).

Sementara, jika menggunakan acuan tingkat Pasar Uang Antar Bank (PUAB), selisih yang ditimbulkan ti­daklah sebesar ketika menggunakan BI rate. Apabila jadi diterapkan, maka ada diversifikasi instrumen kebijakan baru bagi BI dalam men­jalankan fungsinya sebagai otoritas moneter. «Yang penting, bunga de­posito bisa turun. Karena, deposito berhubungan dengan likuiditas in­terbank kita dan lending facility BI dengan deposito makin sesuai ara­hanya ke suku bunga rendah,» ujar Tiko, di Jakarta, Rabu (13/4/2016).

Lebih lanjut Tiko menjelaskan, dengan instrumen baru tersebut, li­kuiditas yang selama ini mengandal­kan deposito beralih ke instrumen lainnya, seperti lending facility dan PUAB.

Menurut Tiko, dalam pasar uang yang efisien, jarak antara tingkat lending facility dan PUAB tidak ter­lalu jauh. Sementara, saat ini, de­posit facility rate BI dipatok 4,75 persen dan overnight lending facility dipatok 7,25 persen. Itu berarti, ada selisih 250 basis poin (bps).(*)

============================================================
============================================================
============================================================