BANK Indonesia (BI) tengah berdiskusi dengan pelaku pasar keuangan nasional maupun global terkait kemungkinan mengubah kebijakan suku bunga acuan, yang selama ini berpatokan pada BI rate.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]’
Harap tunggu penjelasan resmi kami Jumat nanti,†ujar Deputi Senir BI Mirza AdityasÂwara, Rabu (13/4/2016). Pada prinsipnya, sambung Mirza, tolak ukur untuk menentuÂkan suku bunga nantinya akan diterapkan berdasarkan praktik terbaik dari operasi kebijakan moneter bank-bank sentral di dunia.
Sebelumnya dilaporkan, BI akan mengadopsi tingkat reverse repurchase (REPO) 7 hari sebagai suku bunga acuan. Ini berarti menggeser BI rate yang seÂlama ini digunakan sebagai referensi.
Sejak Juli 2005, acuan suku bunga berkiblat pada kebijakan moneter yang ditetapkan BI. Namun, keÂmungkinan perubahan benchmark tidak berarti mengubah pendirian bank sentral dalam pengambilan kebijakan monÂeter dari sisi tingkat bunga.
Namun banyak analis meniÂlai bahwa BI rate tidak kredibel dalam mencerminkan kondisi pasar. Saat rupiah mengalami pergerakan, suku bunga acuan BI ini relatif stagÂnan.
Riset Deutsche Bank menyebutÂkan, suku bunga acuan overnight rate (tingkat bunga antar bank denÂgan jangka waktu satu malam) lebih relevan digunakan karena lebih sesÂuai dengan kondisi pasar. Praktik ini sudah banyak digunakan dalam utang perusahaan.
“Jika diterapkan, perubahan ini akan positif bagi bank dan memperÂluas pasar kredit secara keseluruÂhan,†imbuh Raymond Kosasih, AnaÂlis Deutsche Bank.
Secara umum, dengan atau tanpa risiko intervensi, ia menilai, kemungÂkinan Indonesia mengalami penuÂrunan struktural dalam suku bunga. Ini akan berakibat pada perolehan margin bunga bersih alias Net InterÂest Margin/NIM.
Menteri Koordinator Bidang PerÂekonomian Darmin Nasution menÂdukung rencana Bank Indonesia (BI) yang akan menambah instrumen baru dalam penentuan arah kebiÂjakan moneter demi mengontrol likuiditas dan inflasi secara bersaÂmaan.
Pernyataan mantan Gubernur BI ini merujuk pada rencana acuan atau benchmark moneter baru yang dikabarkan bakal berupa reverse reÂpurchase agreement (Repo).
Meski dinilai mendukung pengÂgunaan reverse Repo, Darmin meÂnampik pandangan berbagai pihak yang menilai BI rate tak lagi krediÂbel dalam menyikapi kondisi pasar keuangan saat ini.
Menurutnya, BI rate masih mampu menopang pilar kebijakan moneter yang ditempuh oleh BI, salah satunya upaya pengendalian inflasi. «Tapi sebenarnya, tidak ada instrumen yang bisa menegakkan (pilar) itu dengan baik (sangat efekÂtif ),» ujar Darmin di kantornya, Rabu (13/4/2016).
Darmin mengungkapkan, dimaÂsukkannya benchmark terbaru tadi merupakan langkah kebijakan monÂeter yang diambil BI guna mengakÂselerasikan instrumennya dalam menyikapi kondisi pasar yang ada.
Sebab, sikap BI dalam menÂegakan kebijakan moneter yang ketat dan konservatif selama ini didorong oleh kekhawatiran akan gejolak inflaÂsi domestik yang timbul oleh likuidiÂtas berlebih di pasar akibat ekspansi dan kontraksi pasar keuangan.
Kekhawatiran tersebut pernah ditunjukan dengan penerbitan SertiÂfikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 3 bulan yang bertujuan menyerap likuiditas berlebih dari uang yang beredar di masyarakat.
Namun teori tersebut dipatahÂkan oleh Darmin, lantaran ada fakÂtor lain yang memiliki andil besar dalam melambungkan laju inflasi selain peningkatan uang beredar (likuiditas), yakni gejolak harga panÂgan pokok. «Di Indonesia, inflasi itu adalah urusan harga beras, bawang dan cabai. Oleh karena itu perlu diÂcari alat kebijakan lain yang lebih puÂnya instrumen dan lebih efektif untuk mempengaruhi apa yang ingin dituju dalam kebijakan moneter,» cetusnya.
Selama ini, Darmin melanjutkan BI sejatinya mempunyai satu tujuan tunggal yakni mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah.
Hal ini mengandung dua aspek yakni kestabilan nilai mata uang ruÂpiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi; serta keÂstabilan nilai mata uang rupiah terÂhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar. Perkembangan nilai tukar lah tersebut yang akhirnya mempengaÂruhi adanya arus modal asing. «Kurs memang termasuk yang merupakan sasaran tujuan kebijakan BI, tapi yang utama adalah pengendalian inflasi bukan kurs. Karena itu bikinÂlah sesuatu yang lebih pas,» jelasnya.
Lebih jauh Darmin mengaku suÂdah ada pembicaraan mengenai arah kebijakan moneter yang ditempuh oleh otoritas moneter.
Ia mengatakan recana BI untuk mengubah benchmark BI rate menÂjadi reverse repo berjangka 7 hari sudah sesuai dengan yang diharapÂkan oleh pemerintah. «Kita sudah beberapa kali rapat. Kita tidak bisa jelaskan apa-apa. Biarkan BI yang mengambil langkah. Intinya itu seÂjalan dengan apa yang diharapkan pemerintah,» tandas Darmin.
Terkait hal ini, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyambut hangat rencana Bank Indonesia (BI) mengeÂluarkan instrumen baru moneter guna mengubah acuan suku bunga bank yang selama ini berpatokan pada BI. Instrumen moneter baru yang kabarnya berupa reverse reÂpurchase (REPO) deposito berjangka tujuh hari ini dinilai bisa mendorong likuiditas perbankan.
Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri mengungkapÂkan, selama ini ada disparitas yang lebar saat perbankan mengacu pada BI rate dalam menetapkan tingkat bunga pinjaman (lending rate).
Sementara, jika menggunakan acuan tingkat Pasar Uang Antar Bank (PUAB), selisih yang ditimbulkan tiÂdaklah sebesar ketika menggunakan BI rate. Apabila jadi diterapkan, maka ada diversifikasi instrumen kebijakan baru bagi BI dalam menÂjalankan fungsinya sebagai otoritas moneter. «Yang penting, bunga deÂposito bisa turun. Karena, deposito berhubungan dengan likuiditas inÂterbank kita dan lending facility BI dengan deposito makin sesuai araÂhanya ke suku bunga rendah,» ujar Tiko, di Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Lebih lanjut Tiko menjelaskan, dengan instrumen baru tersebut, liÂkuiditas yang selama ini mengandalÂkan deposito beralih ke instrumen lainnya, seperti lending facility dan PUAB.
Menurut Tiko, dalam pasar uang yang efisien, jarak antara tingkat lending facility dan PUAB tidak terÂlalu jauh. Sementara, saat ini, deÂposit facility rate BI dipatok 4,75 persen dan overnight lending facility dipatok 7,25 persen. Itu berarti, ada selisih 250 basis poin (bps).(*)