Oleh : Yuska Apitya Aji Iswanto S.Sos,

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Pamulang ***)

 

Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan kasasi dari terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Majelis hakim kasasi menilai, permohonan dari pihak terdakwa hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Sebaliknya, majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 15-9-2014 atas perkara kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014 majelis pun memperberat vonis yang diterima mantan Presiden PKS itu pada pengadilan sebelumnya.

MA memperbaiki putusan PN/PT menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 18 (delapan belas) tahun berikut denda Rp 1 miliar. Selain itu, Majelis Banding MA juga mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Pada putusan LHI ini juga disebutkan, 3 hakim agung yang mengadili kasus ini, yaitu Artidjo Alkostar (Ketua Majelis), M. Askin (Hakim Anggota), dan MS. Lumme (Hakim Anggota) mengambil putusan dengan suara bulat tanpa dissenting opinion. Sebelum menempuh kasasi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor telah memvonis 16 tahun penjara. Majelis Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa terdakwa LHI terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang secara bersama-sama, dan dijatuhi hukuman 16 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan. Untuk tindak pidana korupsi, terdakwa LHI dianggap bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.  Sedang untuk tindak pidana pencucian uang, terdakwa LHI dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjabat anggota DPR RI 2004-2009 dan setelahnya, dan dianggap melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a,b, c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU, Pasal 6 ayat 1 huruf b dan c UU Nomor 25/2003 tentang TPPU. Kemudian Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Berbagai pertimbangan Majelis Hakim mewarnai latar belakang vonis tersebut, antara lain:

– Dalam uang Rp. 1,3 milyar dari PT Indoguna Utama yang telah diserahkan kepada Ahmad Fathanah terkait pengurusan kuota impor daging sapi, diyakini adanya keterlibatan terdakwa LHI dalam pengurusan kuota itu. Terdakwa LHI tahu adanya komitmen fee, dan setelah adanya komitmen tsb, terdakwa LHI menjadi aktif membantu PT Indoguna.  Uang tersebut sejumlah Rp 1,3 miliar itu merupakan bagian dari realisasi janji saksi Maria Elizabeth Liman kepada terdakwa.

– Terdakwa LHI dinilai tidak jujur dan menyembunyikan harta kekayaannya, jumlah dana milyaran dalam rekeningnya tidak sesuai dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang telah menyebut tidak memiliki penghasilan lain kecuali gaji dan tunjangan anggota DPR senilai Rp 58,954 juta ditambah Rp 50 juta sebagai presiden PKS telah dikurangi iuran per bulan Rp 20 juta.

– Terdakwa LHI dinilai telah mempunyai niat melakukan pencucian uang sesuai sadapan telepon terdakwa LHI dengan seseorang dengan sebutan ‘doktor’ mengenai British Virgin Island (BVI) Atas vonis tersebut, terdakwa LHI menyatakan tidak menerima dan akan mengajukan banding.

Keputusan Majelis Hakim Kasasi memperberat vonis terhadap terdakwa LHI menjadi 18 tahun penjara serta pencabutan hak politik tentu dilaksanakan berdasarkan fakta persidangan dengan tetap mengacu pada ketentuan pasal 183 KUHAP, yang menyatakan diperlukannya minimal dua alat bukti serta keyakinan sang hakim. Putusan inilah yang menjadi salah satu faktor penentu apakah hukum dapat dinilai telah memenuhi rasa keadilan ataupun tidak. Banyak pandangan dari para ahli mengenai konstruksi dasar hukum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, salah satunya adalah pandangan dari Gustav Radbruch. Pemikiran dasar mengenai tujuan hukum menurutnya adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Dalam menanggapi putusan majelis hakim yang memperberat vonis terhadap terdakwa LHI, penulis menilai keputusan tersebut sudah tepat. Pertama, status LHI sebagai anggota DPR RI, dimana selayaknya seorang anggota DPR memberikan contoh perilaku pejabat negara yang taat hukum. Apa yang kita lihat adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak layak dicontoh, dan terbukti dari tindakan tersebut bahwa majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah. Kedua, status LHI yang merupakan petinggi partai yakni Presiden PKS. Pertimbangan lain yakni kejahatan yang dilakukan Lutfi termasuk kategori serious crime (kejahatan serius). Selain itu, dengan adanya pemberatan vonis ini Mahkamah Agung telah memberikan peringatan keras dan efek jera bagi masyarakat Indonesia (khususnya pejabat Negara) agar tidak melakukan kejahatan serupa.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Satu terobosan baru lain yang dilakukan MA terhadap vonis terdakwa LHI adalah mencabut hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik. Dengan dicabutnya hak politik untuk dipilih (kembali) LHI otomatis LHI tidak lagi memiliki akses untuk menduduki jabatan publik di masa mendatang. Putusan MK mengkumulasikan sanksi hukuman penjara (18 tahun) dengan sanksi sosial politik (mencabut hak politik). Sehingga dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas.

============================================================
============================================================
============================================================