BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tengah menghitung asumsi ketidaksesuaian (mismatch) antara pendapatan iuran dengan manfaat yang dibayarkan. Pasalnya, mismatch tahun ini diprediksi mencapai Rp 7 triliun.
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan ,MunÂdiharno mengatakan, mismatch disebabkan oleh penetapan besaran iuran yang di bawah hitungan aktuaria. SeÂbagai contoh, hitung-hitungan aktuaria untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas III adalah Rp 36.000 per bulan.
Namun setelah menimbang-nimbang, pemerintah memuÂtuskan besaran iuran yang dibeÂbankan kepada peserta mandiri kelas III sebesar Rp 30.000 per bulan.
Kemudian besaran terseÂbut kembali direvisi menjadi Rp 25.500 per bulan atau tidak menÂgalami kenaikan dibanding tahun lalu. Demikian halnya iuran PBPU kelas II yang menurut hitungan aktuaria sebesar Rp 63.000 per bulan, nyatanya hanya dipungut Rp 51.000 per bulan. “Struktur iuran ini akan memicu defisit. Potensi defisit tahun ini sebesar Rp 7 triliun,†terang MundiharÂno, Rabu (13/4/2016).
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menuturkan, meski potenÂsi mismatch masih ada namun pihaknya tidak khawatir hal ini akan mengganggu likuiditas dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai gambaran, tahun lalu pemerintah yakni Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana sebesar Rp 5 triliun untuk menambal mismatch BPJS KesÂehatan.
“Komitmen pemerintah seÂlalu dibuktikan untuk menangÂgulangi mismatch. Tahun ini, pemerintah telah menyiapkan dana cadangan jaminan keseÂhatan nasional ( JKN) sebesar Rp 6,8 triliun untuk menutupi misÂmatch,†ungkap Fachmi. (NET)