JAKARTA TODAY – Dampak aturan baru BPJS Kesehatan mulai dirasakan. Ada 186 rumah sakit yang memiliki layanan fisioterapi untuk pasien BPJS Kesehatan berhenti melayani mulai kemarin pukul 18.00.

Sejak Kamis (26/7/2018) ikatan fisioterapi Indonesia (IFI) mengintruksikan anggotanya untuk tidak melakukan pelayanan fisioterapi bagi pasien BPJS Kesehatan. Layanan tersebut berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan.

Ketua IFI Pusat M Ali Imron mengatakan bahwa surat yang dia tanda tangani itu untuk memberikan imbauan kepada anggotanya dalam menyikapi Perdiyan (Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan) BPJS Kesehatan nomor 5/2018.

Dia mengatakan bahwa BPJS Kesehatan seolah ingin menghilangkan layanan fisioterapi. ”Disitulah ketersesatan terjadi. Potensi Froud besar,” ungkapnya.

Tidak mencukupinya jumlah dokter rehab medis di tanah air, menurut Imron, membuat kecurangan terjadi. Dia pernah menemui satu dokter rehab medis di Jakarta yang memiliki lima tempat praktek.

BACA JUGA :  Menu Sederhana dengan Ayam Masak Tauco yang Bikin Menggugah Selera

”Datang hanya tanda tangan blanko BPJS,” tuturnya. Padahal untuk rumah sakit tipe C, biaya jasa dokter spesialis sekitar Rp 140.000.

Dia mengatakan bahwa menurut peraturan Menteri Kesehatan nomor 65 tahun 2015, dalam pelayanannya dokter spesialis yang merasa pasiennya membutuhkan layanan fisioterapi akan merujuk langsung. Yang mengerjakan pun para terapi.

”Namun BPJS Kesehatan mengharuskan untuk merujuk ke dokter rehab medis,” ujarnya.

Dia mencontohkan pasien stroke yang ditangani oleh spesialis saraf. Saat di rumah sakit dan pasien dirasa membutuhkan terapi karena belum bisa bergerak, maka yang akan menangani adalah terapis dari fisioterapi.

Lalu ketika pasien sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan transisi untuk kekehidupan sosialnya, maka disitulah peran dokter rehab medis.

”Misal saat ke kantor tidak bisa karena kantornya menggunakan tangga, itu peran dokter rehab,” ungkapnya.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Rabu 24 April 2024

”Seharusnya kalau BPJS mau melakukan efisiensi, jangan seperti ini,” ungkapnya.
Hal itu bertentangan dengan logika klinis.

Peraturan baru BPJS Kesehatan, menurut Imron justru bukan solusi untuk melakukan efisiensi.

”Para medis itu mengobati dengan kondisi apapun. Bukan karena punya atau tidak punya uang,” imbuhnya.

Imron juga mengomentari terkait pembatasan layanan fisioterapi. Dalam Perdiyan nomor 5/2018, layanan fisioterapi diberikan dua kali seminggu atau maksimal delapan kali dalam satu bulan.

Imron mengibaratkan layanan fisioterapi itu seperti pemberian obat. ”Kalau dosis yang diberikan dibawah yang ditentukan, maka sakitnya semakin panjang,” ungkapnya.

Sejak program jaminan kesehatan nasional digulirkan, Imron mengatakan bahwa lembaganya tidak pernah diajak bicara. Termasuk pada saat Perdiyan nomor 5/2018 dikeluarkan.

”Mungkin karena menganggap bahwa fisioterapi itu dibawah dokter spesialis rehab medis,” ungkapnya. (Net)

 

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================