JAKARTA TODAY- Setara Institute menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga negara di Indonesia yang tidak memiliki lembaga pengawasan dari pihak eksternal. Hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya perkara hakim di MK, termasuk kasus Patrialis Akbar.

Direktur Setara Institute Ismail Hasani menyebut tidak adanya pengawasan terhadap MK berpengaruh pada lemahnya sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di MK. Awalnya, kata Ismail, Komisi Yudisial (KY) memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Namun, lanjutnya undang-undang yang mengatur hal tersebut dibatalkan sendiri oleh MK. “Kemudian dibuat perppu, dibuat lagi revisi undang-undang, dibatalkan lagi. Jadi sampai sekarang tidak ada lembaga lain yang mengawasi MK,” kata Ismail di Kantor Setara Institute, Minggu (20/8).

Setara Institute, kata Ismail pernah mendorong MPR untuk memberikan pengawasan. Namun karena MPR tidak memiliki hubungan ketatanegaraan dengan MK, maka pengawasan tidak bisa dilakukan. Tidak adanya lembaga yang mengawasi MK, akhirnya membuat MK berinisiatif untuk membuat dewan etik yang anggotanya merupakan hakim MK dan mantan hakim MK.

BACA JUGA :  Warga Gunungsindur Bogor Digegerkan dengan Penemuan Seorang Pria Gantung Diri dalam Sebuah Gubug

“Secara adhoc membentuk majelis dewan kehormatan hakim ketika ada kasus seperti Patrialis Akbar dan Akil Mochtar. Jadi dia (MK) tidak ada pengawasan,” ujar Ismail.

Selain tidak adanya lembaga pengawas, Ismail mengatakan, ada beberapa persoalan lain di MK yang melatarbelakangi munculnya kasus Patrialis Akbar. Pertama soal kewenangan absolut MK. Ismail menyebut kewenangan tersebut bisa dilihat dari pembatalan undang-undang yang terkait dengan kepentingannya sendiri, salah satunya tentang pengawasan eskternal untuk MK. “Jadi ini (MK) satu makhluk, satu lembaga negara yang memang luar biasa kekuasaannya, powernya,” ucapnya.

BACA JUGA :  Bibir Hitam Gegara 5 Kebiasaan Ini, Simak Sampai Akhir!

Persoalan lainnya terkait dengan akuntabilitas dalam proses seleksi hakim dan terkait dengan manajemen perkara.
“Masalah-masalah ini yang menyebabkan potensi abuse (penyalahgunaan) di masa datang bisa saja terjadi, sepanjang persoalan dasar tidak diatasi,” kata Ismail.

Setara Institute juga menyoroti kinerja MK yang melampaui kewenangannya atau ultra vires. Ismail menyebut selama periode 2016-2017, lembaganya mencatat MK telah merumuskan 15 norma baru dalam 11 permohonan berbeda. “MK mengambil kewenangan DPR dan presiden. Karena yang berwenang membentuk undang-undang itu kewenangan DPR dan presiden. Dalam konteks ultra vires bukan perkara main-main,” katanya. (Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================