BOGOR TODAY- Kepemimpinan Bima Arya Sugiarto-Usmar Hariman sudah berjalan setidaknya untuk kurub tiga tahun. Namun, banyak janji politik Bima Arya yang belum terbayar hingga kini. Sejumlah pengamat menilai, Bima Arya telah berhasil melakukan “Politik Kosmetik” di Kota Bogor.
“Terminal Baranangsiang adalah wajah bopeng yang tidak sempat ditambal oleh Pemkot. Bahkan terminal bagaikan daerah tak bertuan. Pemkot ada tapi di sana dikuasai komunitas terminal, mereka yang sibuk sekarang harus melakukan pengerasan dan pengecoran dengan dana swadaya. Ini kota bertuan atau tidak sesungguhnya?” ucap Sugeng Teguh Santoso, Advokat yang juga Bakal Calon walikota Bogor 2018.

Menurutnya, Terminal Baranangsiang adalah wajah Kota Bogor, namun didiamkan “terlantar tanpa penyelesaian.” “Sementara Pemkot bisa mengusahakan dana (untuk) mempercantik kota dengan taman, pedestrian dan Lawang Selapan,” ketusnya.

BACA JUGA :  Menu Kreasi dengan Lumpia Kembang Tahu yang Gurih dan Lezat

Menurut Sugeng, Bima juga sudah hilang rasa empati. “Silahkan saudara-saudara masuki lorong-lorong pemukiman warga kebanyakan Kota Bogor, rumah petak berdempetan, ukuran 3×4 yang bisa diisi lebih dari 1 keluaraga, sanitasi buruk, pengap, bahkan ada yang kena kebanjiran. Rutilahu yang menebar dimana-mana,” ucapnya.

Menurut Sugeng, Pemkot tidak memperlihatkan keseriusan untuk mengatasi masalah kebersihan di pemukiman-pemukiman padat itu, sehingga warga memilih untuk membuang sampah di sungai. “Turun saja ke lorong-lorong perumahan padat tersebut, yang ada di lerengan-lerengan kota, daerah aliran sungai. Warga tidak dididik untuk kelola sampah; sungai jadi bak sampah terbesar di dunia. Karena memang tidak disediakan tempat sampah pada wilayah pemukiman dan tidak ada manajemen kelola sampah,” katanya.

“Dua kontras wilayah, pusat kota indah, minus terminal dan kontras pemukiman yang semestinya jadi keprihatinan pimpinan kota, adalah cermin psikologis peminpin kota: tidak berempati.”

BACA JUGA :  Resep Membuat Donburi Ayam Krispi untuk Menu Makan Andalan Keluarga

Menurutnya, terjadi kesenjangan antara aksi pemerintah dengan kebutuhan warga. “Dalam situasi rakyat yang sulit, sebaiknya kita berempati dengan tidak mengumbar tindakan-tindakan yang mensegregasikan diri [dari] pergumulan warga. Pemimpin terpisah dari rakyat. Atau rakyatnya yang mau saja dibodohi dan senang dengan pencitraan pemimpinnya?” ucapnya.

Ia mengakui bahwa sebagian kalangan mungkin akan mengatakan bahwa rangkaian kritikannya tersebut adalah “kampanye dan pencitraan” bagi balon Walikota Bogor itu. “Bisa saja. Yang pasti saya muak dengan politik kosmetik Kota Bogor,” tegasnya. “Kalau ada yang tersinggung telepon saya saja. Kita diskusi kalau perlu bersama stakeholder kota,” tutupnya.(Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================