Oleh : Martin Lubalu, SH. MH

Praktisi dan Pakar Hukum Pidana Universitas Pamulang ***

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat.

Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum. Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Adapun kata penyertaan yang bersinonim dengan Deelneming aan strafbare feiten tercantum dalam titel V buku KUHP, sedangkan penyertaaan adalah turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana,  jadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh banyak orang yang dilakukan secara bersama-sama dengan waktu yang bersamaan dan niat yang sama pula dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Sedangkan penyertaan pembunuhan dapat diartikan turut sertanya seorang atau lebih dalam melakukan suatu tindak pidana kejahatan terhadap jiwa atau nyawa manusia yang dilakukan dengan tujuan dan waktu yang sama.

Dasar Hukum

Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan pasal 56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam pasal 57. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah:

Pasal 55:

  • Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana;
  1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
  2. orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
  • Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggung jawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.

Pasal 56:

Dipidana sebagai pembantu melakukan kejahatan:

  • Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
  • Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan

Pasal 57:

  • Dalam hal pembantuan melakukan kejahatan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya.
  • Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatannya sendiri.
  • Dalam menentukan pidana bagi si pembantu perbuatan kejahatan, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Pasal pasal tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk menentukan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan sanksi pidana terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut, pelaku termasuk kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi pidana yang akan dikenakan  kepada pelaku tindak pidana.

  1. Yang Melakukam Perbuatan (Dader, Plegen)

Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud. Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Menurut pasal 55, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat tindak pidana.

Terdapat perbedaan antara Pleger dengan Pembuat Tunggal (Dader), perbedaan itu adalah seorang Pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal satu orang, baik secara psikis atau secara fisik. Jadi, seorang pleger memerlukan sumbangan perbuatan peserta lain untuk mewujudkan tindak pidana. Akan tetapi perbuatan tersebut haruslah sempurna sehingga perbuatan itu tidak hanya untuk menentukan terwujudnya tindak pidana yang dituju tersebut.

Syarat-syarat 

Suatu tindak pidana dapat dikenakan sanksi apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Pada umumnya unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

  1. Unsur obyektif: unsur yang menitik beratkan pada wujud perbuatan. Dalam unsur ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya :
    1. Perbuatan manusia yaitu suatu perbuatan positif atau perbuatan negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana.
    2. Akibat perbuatan yaitu akibat yang terjadi atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, ada yang timbul bersamaan dengan perbuatan dan ada yang timbul setelah perbuatan.
    3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.
    4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum, perbuatan itu melawan hukum jika bertentangan dengan undang-undang.
    5. Unsur subjektif: kesalahan (schuld)dari orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan yang dapat dipersalahkan jika orang itu melanggar norma hukum.

Seseorang dapat dikatakan dapat terlibat suatu tindak pidana bersama-sama orang lain apabila telah memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian:

  1. Dari sudut subyektif, ada dua syaratnya, yaitu:
    1. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana.
    2. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya sengan peserta lain, dan bahkan dengan napa yang diperbuat oleh peserta lain.
    3. Dari sudut obyektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatab orang lain itu secara obyektif ada perannya atau pengaruh positif baik besar atau kecil terhadap tindak pidana.
BACA JUGA :  Cara Membuat Rolade Ayam Klasik Spesial yang Simple dam Lezat

Selain kedua syarat umum tersebut, masing-masing peserta mempunyai syarat-syarat sendiri sehingga dapat disebut sebagai pelaku yang turut melakukan tindak pidana. Masing-masing peserta yang turut serta melakukan tindak pidana mempunyai isyarat-syarat sebagai berikut:

  1. Mereka yang melakukan perbuatan (Dader, Plegen). Pada kenyataannya menentukan seseorang pelaku tidak sukar, kriterianya cukup jelas, ialah secara umum perbuatannya telah memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sedangkan dalam tindak pidana meteriel perbuatan apa yang dilakuakan telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
  2. Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen), untuk dapat dikatakan sebagai menyuruh melakuakan perbuatan, haruslah memenuhi persyaratan, yakni: orang yang disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHP.
  3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan (Medeplegen). Untuk dapat dikatakan sebagai medepeger seseorang harus mempunyai beberapa syarat-syarat;
  4. Apabila beberapa pelaku peserta melakukan sesuatau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dengan kekuatan diri sendiri.
  5. Antara beberapa pelaku yang melakukan bersama-sama dalam suatu perbuatan yang dilarang itu harus ada kesadaran bahwa mereka bekerja sama.

Kesadaran itu dapat timbul karena pada umumnya apabila pelaku peserta itu, sebelumnya melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu telah melakukan perundingan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan. Dalam doktrin terdapat tiga pendapat mengenai kemungkinan kerja sama untuk mewujudkan turut serta:

  1. Mereka bersama-sama melaksanakan perbuatan pidana, setidak-tidaknya memenuhi unsur perbuatan pidana.
  2. Salah seorang memenuhi rumusan unsur perbuatan pidana, sedangkan yang lain tidak memenuhi unsur delik akan tetapi sangat penting untuk pelaksanaan perbuatan pidana.
  3. Masing-masing tidak memenuhi unsur-unsur delik seluiruhnya, selagi mereka bersama-sama mewujudkan delik yang bersangkutan.

Menurut Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda, mengemukakan dua syarat bagi adanya turut serta melakukan tindak pidana, pertama: kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama (afspraak) diantara mereka, kedua: mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

Konsekuensi Hukum

Seperti yang telah diketahui bahwa penyertaan adalah semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara Psikis maupun secara fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Perbuatan masing-masing dari orang-orang yang terlihat dalam kerja sama untuk mewujudkan tindak pidana itu berbeda peranannya antara satu dengan yang lain. Demikian juga dengan sikap batin dari mereka terhadap tindak pidana dan terhadap peserta yang lain. Akan tetapi dalam perbedaan-perbedaaan itu terjalin suatu hubungan yang erat dimana perbuatan satu menunjang  perbuatan yang lain yang semuanya mengarah pada satu hal yaitu terwujudnya suatu tindak pidana.

Dalam sistem penyertaan terdapat dua sistem pokok yang satu dengan yang lain saling bertentangan. Sistem yang pertama, tiap-tiap peserta dipandang sama nilainya atau sama jahatnya dengan orang yang melakukan perbuatan pidana sehingga mereka itu dapat dipertanggung jawabkan sama dengan pelaku. Sedangkan sistem yang kedua tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya tetapi masing-masing dibedakan menurut perbuatan yang dilakukan. Satu sisi para pengadil menyamaratakan dengan pelaku dan satu sisi dibedakan sehingga sistem pertanggung jawabannya juga demikian terkadang disamakan beratnya dan adakalanya lebih ringan.

Konsekuensi terhadap para pelaku tindak pidana turut serta dijatuhkan berdasarkan syarat-syarat dan peranan masing-masing pelaku. Konsekuensi terhadap mereka yang melakukan perbuatan (Plegen) adalah sama dengan pelaku tunggal atau yang melakukan tindak pidana secara sendiri dan harus telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan. Jika seorang plegen telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dilakuakan maka sanksi hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan rumusan delik tindak pidana yang dilakukan, seperti pada pelaku tindak pidana pembunuhan berrencana yang diancam dengan sanksi pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup. Maka terhadap pelaku tindak pidana penyertaan pada pembunuhan berencana hukumannya sesuai dengan rumusan delik yang ada.

Adapun pada mereka yang menyuruh melakuakan perbuatan (Doenplegen) adalah bahwa pertanggungjawaban atau sanksi terhadap orang yang menyuruh melakukan perbuatan dibatasi hanya sampai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh, artinya walaupun  orang yang menyuruh melakukan itu bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu yang lebih jauh sifatnya namun dia bertanggung jawab hanya sampai pada perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh orang yang disuruh. Sebaliknya dia juga bertanggung jawab sampai pada hal-hal yang memang disuruh melakukannya. Jika orang yang disuruh itu telah melakukan lebih dari apa yang disuruh melakukannya, maka orang yang menyuruh tidak bertanggungjawab atas hal yang lebih yang telah dilakukan oleh orang yang disuruh.

Pelaku yang berikutnya adalah mereka yang menganjurkan perbuatan, pertanggung jawaban dan konsekuesi hukum yang dapat dikenakan terhadap mereka yang menyuruh atau membujuk melakukan perbuatan adalah hanya perbuatan yang telah dianjurkan saja. Pertanggung jawaban penganjur dalam sistem penyertaan di Indonesia, sebagaimana diketahui bahwa penganjuran (Uitlokker) merupakan bentuk penyertaan yang berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa berdasarkan daya upaya yang dilakukan oleh seseorang itu, oleh penganjur tidak perlu dilakukan suatu delik yang selesai penuh (Voltooid), bahkan apabila oleh si penganjur dilakukan perbuatan percobaan terhadap suatu delik, maka si penganjur tersebut telah dapat dipertanggungjawabkan untuk dipidana sama dengan pembuat atau pelaku.

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam rumusan delik pasal 55 ayat 2 KUHP bahwa penganjur dapat dipidana dan dapat dipertanggungjawankan kepadanya apa yang dibujukkan atau dianjurkan untuk dilakukan kepada pelaku pelaksana dan akibat perbuatannya. Jadi pertanggungjawaban penganjur dibatasi atas apa yang dianjurkan dan akibatnya.

Setelah bentuk penyertaan penganjuran masih ada bentuk penyertaan yang lain dan ini merupakan bentuk penyertaan yang terakhir. Bentuk tersebuat adalah bentuk pelaku penyertaan pembantuan. Dalam KUHP diatur mengenai penyertaan pembantuan dalam pasal 56 dan pasal 57, dalam pasal 56 dirumuskan mengenai pembantuan sedangkan dalam pasal 57 dirumuskan mengenai batasan pertanggungjawaban dari peserta pembantu.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Konskuensi hukum dari bentuk pembantuan seperti yang dirumuskan dalam pasal 57 KUHP tidak sama dengan pelaku pelaksana. Perbuatan pidana yang berbentuk penyertaan terdiri atas peserta sebagai pelaku utama dan pembantu dengan masing-masing dipidana tidak sama. Pada prinsipnya KUHP menganut sistem dapat dipidana pembantu tindak pidana tidak sama dengan pelaku. Pidana pokok untuk pembantu diancam lebih ringan dari pembuat. Seperti dalam pasal 57 ayat 1 maksimum hukuman pokok dalam membantu melakukan tindak pidana dikurangi sepertiga. Apalagi dalam maksimum hukuman ini hukumam mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka hukuman maksimum pembantuan dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Menurut ayat 3 hukuman tambahan dalam pembantuan sama seperti pelaku tunggal.

Setelah mengetahui konsekuensi hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan pada peserta pelaku delik penyertaan ternyata masing-masing pelaku dapat dipidana sesuai dengan apa yang telah dilakukannya serta dipengaruhi peranan dan andil masing-masing peserta dalam melakukan tindak pidana. Begitu pula dalam kasus tindak pidana penyertaan pembunuhan yang dibahas dalam tulisan ini masing-masing peserta pelaku penyertaan dapat dipidana yang tidak sama antara satu peserta dengan peserta yang lain sesuai dengan peranan dan andil dalam melakukan tindak pidana.

 

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Pidana

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh Hakim dalam membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa setelah menjalani pemeriksaan pada persidangan di pengadilan. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai, maka Hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat perlu untuk menciptakan putusan yang proporsional dan mendekati rasa keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, maupun masyarakat.

Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, Hakim melakukan tindakan untuk menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta persidangan) dan disertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya Hakim mengambil kesimpulan dengan menetapkan suatu sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa, untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam perkara pidana, alat bukti yang sah untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim, diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Selain itu Hakim menghubungkan semua alat bukti dengan barang bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keseluruhan alat bukti yang diajukan dipersidangan menunjukkan kesesuaian satu sama lain atau tidak.

Faktor eksternal yang menjadi pertimbangan hakim dan alasan lahirnya putusan tentang tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu pertimbangan Hakim mengenai fakta-fakta yuridis Hakikat pembuktian dalam hukum pidana teramat penting, dimana dapat dikatakan pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang.

Pembuktian dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana, karena hasil persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat berupa dibebaskan dari dakwaan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana ataukah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Secara sederhana dapat dikatakan ada anasir erat antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara pidana. Pertimbangan hakim mengenai fakta-fakta yuridis diperoleh hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, dengan demikian Hakim berpendapat yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan sepanjang pemeriksaan di persidangan ternyata Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan para terdakwa tetap dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan para terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya tersebut.

Pertimbangan hakim mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam memutus suatu perkara Hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek yuridisnya saja, tetapi Hakim juga harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Dalam hal ini, Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dari sisi pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat. Dengan demikian, diharapakan tercipta putusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak, sehingga masyarakat mempunyai respek dan kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi pengadilan sebagai lembaga peradilan yang mampu mengakomodir para pencari keadilan.

Dengan demikian dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum seperti banding atau kasasi, peninjauan kembali (PK), melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak hakim yang mengadili perkara diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan kesalahannya.

Putusan Hakim sangat dipengaruhi oleh pembuktian dalam penyelidikan, penyidikan dan pembuktian didalam sidang. Proses Peradilan akan berakhir dengan suatu putusan akhir. Dalam putusan tersebut Hakim menyatakan pendapatnya mengenai hal-hal yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusan tersebut.

Semua putusan pengadilan akan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila putusan tersebut diucapkan dalam sidang. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa.(***)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================