JAKARTA TODAY- Indonesia masih kekurangan jumlah dosen. Itu sebabnya, Kemenristekdikti atau Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sedang menyeleksi 2.773 sarjana untuk mendapatkan 250 penerima beasiswa Pendidikan Magister Doktor Sarjana Unggul (PMDSU). Beasiswa tersebut untuk sarjana lulusan 2015-2017 dengan IPK minimal 3,25 dan belum melebihi usia 23 tahun. Peserta yang lulus seleksi akan dikuliahkan di sebelas perguruan tinggi negeri nasional.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristektikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, penerima beasiswa PMDSU akan menjalani kuliah pascasarjana (S2) selama 1 tahun dan menjadi doktor (S3) dalam kurun 3 tahun. Selain memperoleh biaya pendidikan dan hidup, setiap peserta PMDSU juga akan mendapatkan dana sebesar Rp 60 juta/tahun untuk biaya penelitian.

“Kami menyediakan peluang beasiswa fast track. Beasiswa PMDSU ini mempertemukan para sarjana unggul dengan para promotor yaitu akademisi dalam negeri yang memiliki reputasi keilmuan internasional. Diutamakan untuk jurusan sains dan teknologi,” ujar Ghufron kepada Pikiran Rakyat di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan, beasiswa PMDSU merupakan program istimewa yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan jumlah dosen hingga 2021. Peserta beasiswa tersebut akan diampu 186 promotor berpengalaman seperti dari Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Menurut dia, saat ini, perguruan tinggi nasional masih kekurangan sekitar 12.000 dosen. “Kami juga menyediakan skema beasiswa lainnya untuk dosen dan tenaga kependidikan,” katanya.

Ia menuturkan, selama perkuliahan, peserta PMDSU akan banyak berinteraksi dan melakukan penelitian bersama dengan ilmuwan dalam dan luar negeri. Dengan demikian, lulusan PMDSU diharapkan sudah sangat siap menjadi ilmuwan muda yang andal dalam menghadapi persaingan global. “Tapi juga mengerti tentang kondisi akar rumput tanah air,” ujarnya.

Sebagai mahasiswa unggul, peserta PMDSU wajib membuat dua jurnal internasional dalam setahun. Hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak jumlah hasil penelitian asal Indonesia di tingkat ASEAN yang tahun lalu berada di peringkat keempat di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Ghufron menuturkan, hingga akhir 2016, jumlah jurnal internasional Indonesia sebanyak 9.000 jurnal.

“Sedangkan Malaysia 23.000 jurnal, Singapura 17.000 jurnal dan Thailand 13.000 jurnal,” katanya.

Pada tahun ini, pemerintah memasang target 18.500 jurnal internasional. Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, target tersebut cukup realistis mengingat Indonesia memiliki 6.000 profesor dan 31.000 lektor kepala. Jika setengah dari mereka mampu menerbitkan publikasi internasional sekali dalam setahun atau sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20/2017, maka target pemerintah akan tercapai.

Selain mengeluarkan beasiswa PMDSU, pada akhir 2016 lalu, Nasir juga meluncurkan program Visiting World Class Professor sebagai program prioritas untu memenuhi target 18.500 jurnal itu. Program tersebut menyedot APBN senilai Rp 50 miliar. Ia mengatakan, program Visiting World Class Professor berhasil mengundang 41 ilmuwan dan akademisi diaspora Indonesia yang telah memiliki reputasi baik dalam dunia perkembangan keilmuan dan riset.

“Hasilnya memuaskan, selain penyelenggaraan yang dinilai “A Class” oleh para diaspora, masukan dan tindak lanjut program terus bergulir hingga hari ini seperti diskusi keilmuwan untuk menindaklanjuti penulisan kolaboratif pada jurnal internasional, asistensi penulisan jurnal dosen dalam negeri,” ujarnya.(Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================