//Refleksi Hari Tanpa Tembakau Dunia

Oleh : Yuska Apitya Aji Iswanto S.Sos,

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Pamulang (Unpam) Tangerang Selatan (***)

 

UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai telah memberi andil besar bagi penerimaan cukai Negara. Setidaknya untuk Sembilan tahun terakhir. Namun, tarif cukai rokok tiap tahun mengalami perubahan mengikuti standarisasi bea impor dan ekspor serta kebijakan politik Internasional.

Dampak Deklarasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diteken sejak 2003 oleh sejumlah negara penghasil rokok setidaknya memberi banyak pengaruh besar terhadap perubahan tarif cukai dan penerimaan cukai Indonesia. Kebijakan terbaru pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.010/2016 yakni mengatur tentang kenaikan tarif cukai tertinggi sebesar 13,46% untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah sebesar 0% untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai.

Deklarasi FCTC juga membuat DPR RI dan Pemerintah RI mewacanakan revisi UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Namun, wacana ini mendapat beragam protes dari pelaku industri tembakau. Jelas, arah dari revisi UU ini adalah menaikkan tariff cukai rkok dari berbagai industri dengan tujuan agar produksi rokok bias ditekan, sementara penerimaan cukai negara naik signifikan. Agenda seiringan juga mewarnai penggondokan Undang Undang Pertembakauan yang kini masih berbentuk Rancangan Undang Undang (RUU) yang tak kunjung disahkan oleh Pemerintah dan DPR RI karena beragam protes dari kalangan medis.

Lahirnya deklarasi FCTC harus diakui menguncang kebijakan ekonomi negara penghasil rokok di Dunia, salah satunya Indonesia. Tak heran jika Pemerintah Indonesia hingga sejauh ini masih enggan meratifikasi peraturan kesepahaman Deklarasi FCTC.  Analisa yuridis terhadap dampak FCTC (Framework Convention on Tobacco Protokol) dari kacamata Critical Legal Studies atau studi hukum kritis mengembangkan pemikiran dan ajaran yang pada garis besarnya bertujuan untuk menentang atau setidaknya meninjau kembali norma-norma, standar-standar, dari sistem hukum dan implementasinya dari apa yang dikenal sistem hukum modern. Dalam pandangan studi hukum kritis keadaan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini mereka yang kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan.

FCTC adalah salah satu instrumen internasional yang disusun oleh negara-negara anggota WHO dalam upaya mengendalikan tembakau, sebagai buah dari kesepahaman bersama bahwa tembakau yang tidak dikendalikan akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dunia.Hingga akhir tahun 2014 sudah ada 177 negara meratifikasi FCTC, sedangkan Indonesia belum meratifikasi. Sebagaimana tertulis dalam pembukaannya, tujuan FCTC adalah untuk “melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau”.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Pudarnya batas-batas negara sebagai salah satu implikasi globalisasi mengakibatkan hubungan antarnegara menjadi semakin mudah, atau dalam arti lain saling terkoneksi satu sama lain. Jalinan hubungan yang terjalin, akan menimbulkan tuntutan agar adanya persamaan hak dan kewajiban atas perlakuan dan standarisasi yang ada di satu negara dengan negara lainnya. Salah satu cara menciptakan standarisasi adalah dengan membuat perjanjian yang disepakati oleh negara-negara yang saling berhubungan, misalnya saja dalam FCTC yang menciptakan standarisasi atas kesehatan manusia terkait dampak dari tembakau. Namun, dalam praktiknya FCTC bukan hanya digunakan untuk standarisasi kesehatan, tetapi juga dipergunakan oleh negara-negara maju sebagai hambatan perdagangan terkait impor rokok dari luar dengan alasan kesehatan. Beberapa pasal dalam FCTC juga membawa implikasi yang sangat luas bagi industri rokok nasional, utamanya rokok kretek.

Pasal 6-7 FCTC yang mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok. Pasal 6 dan 7, The WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau tentu akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi. Kemudian di Pasal 9-10 FCTC yang mengatur tentang aturan dan keterbukaan kepada publik, kandungan/komposisi produk tembakau dapat menjadi regulasi yang memberatkan bagi industri rumahan tembakau. Dapat dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan uji laboratorium dan biaya lainnya yang harus dibayarkan pada instansi berwenang dalam menilai kandungan bahan bahan dalam rokok.

Pasal 17 FCTC tentang pengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternative. Implikasi dari pasal ini maka otomatis para petani akan kehilangan sumber utama pendapatannya. Tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek maka jelas akan membuka keran impor. Terasa aneh bahwa rokok kretek tidak bisa produksi dan beredar di negri sendiri, tetapi rokok impor dapat beredar. Instrumen FCTC tentu perlu ditelaah lagi melalui kajian yang lebih dalam, alasan utama menjaga kesehatan manusia tentu dapat diterima, tetapi implikasinya yang luas terhadap sektor perekonomian harus juga dipertimbangkan. Apalagi negara-negara maju mulai menolak rokok kretek Indonesia dengan dasar standarisasi kesehatan atas tembakau di Indonesia yang tidak dipenuhi. Bahkan George C. Lodge menyebutkan bahwa salah satu penyebab meningkatnya kemiskinan di negara dunia ketiga adalah ketika negara-negara kaya menutup pasarnya untuk produk dari negara miskin. FCTC mengharapkan Pemerintah setiap negara anggota bertanggung jawab mempromosikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penanggulangan masalah tembakau dengan menggunakan semua perangkat komunikasi yang ada, didukung oleh upaya legislative, eksekutif, administratif dan aturan lainnya yang efektif. Cakupan kegiatan edukasi, informasi dan kesadaran masyarakat sangat luas dan melibatkan berbagai kelembagaan: sekolah, fasilitas kesehatan, petugas masyarakat, pekerja sosial, pengambil keputusan, akademisi dan lintas sektor.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Dengan kata lain, FCTC secara tidak langsung telah menciptakan standarisasi kesehatan manusia terkait dampak dari tembakau dan membatasi Negara-negara penghasil rokok untuk melakukan produksi dan pengembangan aktivitas bisnis. Seolah-olah FCTC ini memang terlihat netral, adil dan semata-mata murni untuk kepentingan kesehatan umat manusia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa hukum sendiri sedari proses pembahasan hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan. Apalagi di era globalisasi dimana negara maju dengan sumber daya ekonomi yang kuat dan berbagai perusahaan multinasional memiliki bargaining posession yang besar. Hal ini terlihat ketika banyak negara yang menjadikan FCTC sebagai standar minimum kesehatan sekaligus menjadi hambatan dalam perdagangan internasional, khususnya demi melindungi pasarnya dari rokok kretek.

Implikasi lainnya dapat dibayangkan bagaimana jika pasal-pasal dari FCTC diimplementasikan di Indonesia akan berdampak massive terhadap industri rokok apalagi industri tersebut memiliki multiplier effect yang luas dengan sektor keuangan. Suatu perjanjian internasional seperti FCTC tidak bisa dilihat secara naif lalu diterima sebagai sesuatu yang taken for granted. Apalagi dengan memandang bahwa jika meratifikasi akan meningkatkan citra pemerintah di dunia internasional sekaligus menyelesaikan masalah kesehatan di dalam negeri. Kita bisa berkaca pada UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju. Hal ini pula yang terancam terjadi pada FCTC, implikasi hukum dari konvensi begitu luas dampaknya terhadap perekonomian nasional, jangan hanya karena tuntuntan globalisasi lantas meratifikasinya.

FCTC juga mengamanatkan larangan komprehensif terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor. Menurut FCTC, diberikan tenggang waktu 5 tahun setelah Konvensi berlaku bagi negara bersangkutan, agar negara tersebut melakukan upaya legislatif, eksekutif, administratif dan atau upaya lain yang efektif serta melaporkan setiap kegiatan periklanan rokok sesuai dengan Article 21 FCTC. (Teks ini juga secara eksplisit meminta negara-negara yang menandatangani Konvensi untuk memberikan keterangan yang rinci mengenai iklan lintas-batas, termasuk aspek teknis dari pencegahan atau penghambatan iklan pada media seperti TV satelit dan Internet). Walaupun semua negara setuju bahwa suatu larangan menyeluruh akan mempunyai dampak yang berarti untuk mengurangi konsumsi produk tembakau, beberapa catatan, seperti misalnya yang menyangkut kebebasan bicara dalam hal komersil, membuat beberapa negara tidak dapat menerapkan larangan menyeluruh untuk semua jenis media. Artinya, butir-butir amanat dalam Deklarasi FCTC ini masih belum bulat terlaksana di seluruh negara yang menandatangani kesepakatan. Hal ini tidak lain karena banyak negara penghasil rokok yang merasa terlalu dikekang dan akhirnya beresiko terhadap kondisi perekonomian dan penerimaan cukai negara.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================