Oleh : Budi Santoso Mahasiswa UIKA Bogor

Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pernyatan Presiden RI Joko Widodo. Pernyataan tersebut ialah “Gebuk”. Pernyataan yang terlontar pada saat presiden berpidato di depan pemimpin redaksi di Istana Merdeka, 17 Mei 2017. Lalu disusul di depan 1.500 anggota TNI di Natuna, Kepulauan Riau, dua hari kemudian. “Kalau ada yang keluar dari Pancasila, dari Undang-Undang Dasar 1945, dari NKRI, dari Kebhinekaan kita, itu hal yang sangat fundamental sekali. Kalau ada ormas yang seperti itu, ya, kita gebuk!” (Kompas, 27/05/17).

Istilah “gebuk” dalam kancah perpolitikan Indonesia bukan merupakan istilah baru dan pertama kali digunakan oleh kepala negara. Di era Presiden Soeharto diksi ini pernah digunakan pada 13 September 1989. Di pesawat DC-10 yang terbang setelah kunjungan ke Uni Soviet dan Yugolavia, di ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut, saat menjawab pertanyaan wartawan, Soeharto mengatakan, “Silahkan melakukan apa saja, sampai mengganti saya, jalannya sudah ada, yaitu melalui cara konstitusional. Namun, kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang pemimpin politik atau jenderal, siapa saja akan saya gebuk”. (Kompas, 27/05/17).

Melihat dari kesamaan diksi yang digunakan tentu tidak menjadi kesamaan dalam menjawab berbagai persoalan yang ada. Mengingat Indonesia saat ini yang tengah memanas suhu politiknya, tentu tidaklah pantas menyamakan maksud tersebut seperti di era Soeharto. Jika di era kepemimpinan Soeharto kata tersebut mengarah pada upaya pemakzulan dirinya yang dilakukan secara inkonstitusional, namun di era Joko Widodo diksi tersebut digunakan kepada gerakan ormas yang mengarah pada upaya untuk mengganti Pancasila.

BACA JUGA :  APA ITU PATOLOGI ANATOMIK (PA)

Pengarahan diksi “gebuk” yang hanya menyasar kepada suatu ormas sungguh tidak tepat. Apalagi sampai saat ini tidak ada satupun pasal yang dilanggar dalam UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 oleh ormas tersebut.

Dalam kbbi.web.id kata gebuk /ge:buk/ atau menggebuk /meng:ge:buk/ memiliki arti memukul (dengan pemukul yang berat dan besar). Arti tersebut juga dapat ditemukan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Indrawan WS yang berarti “pukul”.

Dengan pengertian yang masih sangat umum tersebut nampaknya tidak layak jika diksi tersebut hanya ditunjukkan bagi ormas saja. Melainkan bisa kepada semua pelaku tindak kriminal yang membahayakan keutuhan negara. Contoh yang sangat nyata yang baru terjadi beberapa hari yang lalu yaitu munculnya gerakan separatisme Minahasa Merdeka.

Seperti yang diketahui bersama adanya deklarasi Minahasa Merdeka merupakan buntut dari penahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Deklarasi tersebut bermula dari aksi lilin di sejumlah daerah di Indonesia. Namun di Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut) menyikapinya lebih ekstrem. (Jawapos.com, 17/05/17).

Masih mengutip dari Jawapos.com (17/05/17), Menurut Sekretaris Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Fahmi Salim, adanya persitiwa tersebut diduga ada korelasi antara aksi bakar lilin para pendukung Ahok dengan gerakan separatis dan makar di sejumlah daerah di Indonesia. Dan ia menyebut, aksi tersebut telah mematahkan tuduhan makar dan anti kebhinekaan yang selama ini disematkan pada aksi umat Islam. Sebab ternyata para pendukung Ahok yang justru terang-terangan mendeklarasikan untuk memisahkan diri dari NKRI.

Adanya peristiwa tersebut menjadi alarm bagi pemerintah dan polri bahwa di depan mata ada ancaman yang sangat serius yang juga perlu ada tindakan tegas. Dengan diksi  gebuk tersebut tentu juga layak disasar bagi mereka yang sudah terang-terangan ingin memisahkan diri dari NKRI. Tidak bisa hanya ormas yang belum tentu terbukti ingin memecah-belah negara kemudian disasar dengan kata “gebuk”, namun yang terang-terangan justru didiamkan. Apalagi ramai diberitakan sikap Kapolri yang dikutip dari Republika.co.id (16/05/17) dalam memandang peristiwa tersebut merupakan sikap spontanitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan harus didahului tindakan persuasif. Ini merupakan kebalikan sikap terhadap setiap aksi umat Islam yang selalu dituduh adanya makar.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Selain peristiwa Minahasa Merdeka, tentu kasus semisal korupsi yang menjangkiti para wakil rakyat yang terbukti merugikan negara, kebijakan liberal yang menyengsarakan rakyat, dan tindakan teror yang mengancam keamanan negara pun harus disasar dengan “gebuk”. Masyarakat tentu mengharapkan sikap yang sama dari pemerintah dan polri dalam memandang setiap peristiwa. Karena adanya sikap yang sama akan menurunkan tensi yang terjadi di akar rumput. Dan ini yang banyak diharapkan oleh masyarakat bawah terhadap setiap sikap dari pemerintah dan para penegak hukum di negeri ini.

Pada akhirnya adanya diksi gebuk yang diucapkan oleh Presiden Joko Widodo tidak hanya menyasar beberapa kelompok yang belum tentu terbukti bersalah, namun mendiamkan setiap aksi yang terang-terangan bisa mengancam negara. Dan tentunya diharapkan setiap sikap dari pemerintah dan polri merupakan sikap yang objektif dan tidak terkesan tebang pilih. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================