1479055053774(1)

Yuska Apitya Aji S.Sos

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Pamulang (Unpam)/ Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Magister Jakarta-Tangerang.*

 

Proklamasi kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia yang dituangkan ke dalam UUD 1945, membawa perubahan besar dalam semua aspek kehidupan kemasyarakatan di wilayah Indonesia yang sebelumnya dinamakan Hindia Belanda, termasuk pada penyelenggaraan hukumnya. Dengan demikian secara implisit sudah terjadi perubahan dalam isi cita-cita hukum sebagai asas atau dasar yang mendomani dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia.

Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan implementasi dari cita-cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam suatu perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (Prilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat).

Para pendiri negara Indonesia sepakat bahwa Negara Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan sistem pemerintahan sebagai Negara Hukum, hal ini ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan penegasan Negara berdasarkan atas hukum di dalam pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hukum yang berlaku di suatu masyarakat termasuk Indonesia dipengaruhi oleh Teori Hukum (Rechtstheorie atau yurisprudence) yang tahun 1970-an teori hukum ini bangkit kembali.

Hukum yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri yang dahulunya dijajah oleh Belanda yang pada tahun 1938 dengan asas konkordansi, Hukum yang berlaku di Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Hukum Belanda berasal dari Perancis dan Hukum Perancis berasal dari Romawi yang mangnut sistem hukum Eropa Kotinental yang pada pokoknya membagi hukum tersebut menjadi 2 (dua) bidang yaitu;

  1. Hukum Publik.
  2. Hukum Privaat.

Dalam hukum publik, sesuai dengan asas konkordansi pada tahun 1938 dan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 serta ditegaskan kembali dalam Undang Undang No. 73 tahun 1958, bahwa Kitab Undang Undang Hukum Pidana menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1946 tetap berlaku di Indonesia. Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut berasal dari Wetboek van Strafrecht.

Dalam hukum privat, hukum Belanda juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, yang dikenal dengan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgelijk wetboek ) dan Kitab Undang Undang Hukum Dagang (wetboek van Kophande).

Pembidangan 2 (dua) hukum tersebut pada saat ini masih terasa di Indonesia dan masih berlaku sepanjang masih belum dicabut. Sesuai dengan perkembangan zaman Indonesia tidak lagi merumuskan perundang-undangan berbentuk wetboek akan tetapi berubah kearah Rechtboek.

Indonesia dalam perkembangan hukumnya telah berusaha dan membuat hukum sendiri dalam arti membuat undang-undang yang sesuai dengan dasar falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sebagai grundnormnya menurut Hans Kelsen. Sehingga pembidangan hukum Publik dan Hukum Privat tidak dibedakan secara jelas dan tegas.

Undang-undang yang telah dibuat Indonesia mengacu pada UUD 1945 sebagai Grundnorm, sebagai contoh;

  1. Undang undang No. 5 tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria.
  2. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  3. Undang Undang NO. 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
  4. Undang Undang NO. 42 Tahun 1999 tentang Fiducia.

Dibuatnya Keempat undang-undang ini karena aturan-aturan yang termuat dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia dan tidak memenuhi tuntutan perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri.

BACA JUGA :  PENYEBAB PEROKOK DI INDONESIA TERUS BERTAMBAH

Seiring dengan perkembangan zaman, di bidang hukum publik Negara Indonesia telah banyak membuat peraturan perundang-undangan, contohnya :

  1. UU NO. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
  2. UU NO. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
  3. UU NO. 11 tahun 1995 Tentang Cukai
  4. UU NO. 28   tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  5. UU NO. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
  6. UU NO. 31 btahun 1999 yang dirubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
  1. UU NO. 25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang
  2. UU NO. 82 tahun 2003 tentang PPATK
  3. UU NO. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

10.UU NO. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang Undang tersebut di atas merupakan hukum tertulis bagi bangsa Indonesia yang isinya bersesuaian dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila.

Dari Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah Negara dan Pandangan Hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang di dalamnya mencakup :

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang adil dan Berada
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan Yang dipimpin oleh Kehikmatan dan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jika merujuk dari Teori Hukum Murni Hans Kelsen yang mengemukakan bahwa metode dasar dari ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif atau peraturan-peraturan dan dibebaskan dari ilmu-ilmu yang tidak membahas peraturan, sepereti psikologi, sosiologi dan etika. Teori hukum murni ini membebaskan diri dari anasir-anasir sosiologi, politik, ekonomi bahkan etika dan moral menjadikan hukum sebagai bidang yang terisolasi dari interaksinya dengan masyarakat.

Pada praktiknya, hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sosiologi, etika dan budaya bangsa Indonesia itu sendiri dalam arti hukum di Indonesia tidak tertutup hanya sebatas hukum itu saja.

Sebagai contoh analisis lainnya bahwa Teori Hukum Murni tidak diberlakukan dalam hukum Indonesia diantaranya:

  1. Pada pasal 5 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang Undang Pokok Agraria, Menegaskan bahwa hukum Agraria Indonesia berlaku hukum adat.

Dari ketentuan pasal 5 tersebut, maka UUPA berlaku hukum adat dapat pula diartikan kebiasaan suatu wilayah hukum di Indonesia, adat merupakan nilai-nilai luhur yang mengendap dalam masyarakat yang merupakan kenyataan yang tidak dipungkiri (sosial). Dari uraian tersebut maka UUPA mereduksi dari hukum adat bangsa Indonesia dalam arti sosial masyarakat.

  1. Pada pasal 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menegaskan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan Kepercayaannya itu.

Dari bunyi pasal tersebut Undang Undang Perkawinan memasukan unsur agama dan kepercayaan tidak melihat hukum itu murni yang berdiri sendiri.

  1. Pada pasal 2 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001 pada penjelasannya menyebutkan;
BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dari penjelasan pasal tersebut menunjukan kehendak pembuat undang-undang bahwa perbuatan melawan hukum itu tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan saja akan tetapi melihat rasa keadilam masyarakat atau norma kehidupan sosial.  Dengan demikian undang-undang ini tidak melihat hukum secara yuridis semata tapi melihat juga secara sosiologi dan filosofi.

Dari ketiga contoh undang-undang tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa Teori Hukum Murni Hans Kelsen boleh dikatakan tidak berlaku dalam Hukum Indonesia. Dalam penerapan atau penegakan hukum di Indonesia, sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Disinilah bahwa hukum di Indonesia tidak terlepas dari unsur-unsur sosiologi, politis dan budaya bahkan etika moral.

Penulis juga menganalisa bahwa sistem hukum yang tertutup sesuai Teori Hukum Murni, akan menyulitkan dan menghalangi perubahan kaedah hukum dalam masyarakat, bahkan hukum itu sendiri dapat mengakibatkan tidak berdayaguna atau tidak efektif.

Maka disimpulkan, bahwa dalam memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahkan penganut aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembangan sistem hukum Indonesia ke depan. Namun, pada perkembangannya, tidak semua produk hukum di Indonesia menyerap penuh aliran positivisme.

Nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat tetap sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru. Pun memang bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.

Penulis menyarankan dalam pembuatan perundang-undangan para pembuat perundang-undangan hendaknya memperhatikan sinkronisasi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya sehingga tidak saling bertentangan. Para penyusun undang-undang hendaknya mengutamakan kajian akademis, melibatkan tokoh masyarakat dan pemangku adat. Sehingga, produk hukum yang dihasilkan tak semata berlandaskan pada aliran positivisme tanpa memasukan unsur-unsur agama, sosial budaya dan etika moral.(*)

 

 

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================