JAKARTA TODAY– Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Serikat Perjuangan Rakyat InÂdonesia (SPRI) resmi mengaÂjukan permohonan uji materi UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu 13 Juli. UU ini dianggap menyalahi prinsip pembuatan sebuah undang-undang.
Dalam permohonan uji materi UU Tax Amnesty, dua organisasi tersebut meÂnyerahkan sejumlah berkas yang diperlukan. Berkas diserahkan dengan nomor tanda terima masing-masing 1584/PAN.MK/VII/2016 unÂtuk berkas dari Yayasan Satu Keadilan, dan 1583-0/PAN. MK/VII/2016 dari Serikat PerÂjuangan Rakyat Indonesia.
Ketua Yayasan Satu KeadÂilan, Sugeng Teguh Santoso menjelaskan, terdapat beÂberapa pasal utama yang akan diuji. Diantaranya pasal 1 angka (1), 1 angka (7), pasal 3 ayat (1), pasal 5, dan pasal 4. Secara mendasar, pasal-pasal pasal tersebut bertenÂtangan dengan konstitusi. “Pasal-pasal dalam UU Tax Amnesty yang diuji mengÂhilangkan sifat memaksa dari pajak, bertentangan dengan pasal 23A Konstitusi,†kata pemimpin yayasan yang berÂbasis di Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (13/7/2016).
Sugeng menjelaskan perÂsoalan UU Tax Amnesty juga terdapat dalam konsideran, atau uraian singkat tentang pokok pikiran dan alasan pembuatan Undang-undang. Di bagian menimbang, meÂnyebutkan negara butuh pemasukan dari pajak oleh karena itu harus dioptimalÂkan sehingga perlu pengamÂpunan pajak. Sementara pada bagian mengingat, terÂtulis bahwa pajak itu bersiÂfat memaksa. “Pasal itu juga bersifat diskriminatif karena memberi keistimewaan kepaÂda pengemplang pajak, denÂgan dibebaskan dari sanksi yang seharusnya diterimanÂya,†tegas Sugeng.
Pria yang juga Sekjen PerÂhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menilai, mayoriÂtas pasal dalam undang-unÂdang tax amnesty memberiÂkan imunitas bagi pelanggar hukum. Yakni pembatasan upaya hukum dan informasi soal asal-usul harta pengemÂplang pajak dengan memberiÂkan pidana bagi semua orang yang membocorkan infomasi soal pengemplang pajak yang mohon pengampunan. “Aturan ini bisa membuka peluang buat pelaku tindak pidana melakukan pencucian uang,†pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak, Ken DwidjugiÂasteadi mengaku siap mengÂhadapi pihak-pihak yang menggugat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (tax amnesty) di Mahkamah KonÂstitusi (MK). “Saya bersedia hadir kalau kami betul-betul digugat. Saya dan Pak MenÂteri Keuangan (Bambang PS Brodjonegoro) akan datang ke MK jika dipanggil,†tutur Ken saat menghadiri Rapat Kerja dengan Badan AngÂgaran DPR di Gedung DPR, Rabu (13/7).
Ken mengingatkan, UU Pengampunan Pajak disusun untuk kepentingan bangsa, bukan hanya kepentingan segelintir orang maupun kelompok. Proses pengesahanÂnya juga telah sesuai prosedur, dengan terlebih dahulu disepaÂkati dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar bulan lalu.
“ UU (Pengampunan PaÂjak) ini bukan untuk kepentinÂgan segelintir kelompok, tetaÂpi seluruh bangsa dan negara karena UU itu untuk segenap bangsa dan negara,†ujarnya.
Selain itu, Ken juga meyÂakinkan bahwa proses uji maÂteri ( judicial review) atas UU Pengampunan Pajak tidak akan mengganggu impleÂmentasi tax amnesty yang akan dimulai pada minggu depan.
“Selama digugat kan unÂdang-undang tetap berjalan. Jadi tidak masalah,†ujarnya.
Hari ini, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) seÂcara resmi mengajukan judiÂcial review atas UU PengamÂpunan Pajak ke MK. Salah satu alasannya adalah kebiÂjakan ini dinilai melegalkan praktik pencucian uang.
Sebanyak 11 Pasal dalam UU Pengampunan Pajak diÂmohonkan uji materinya yaiÂtu Pasal 1 ayat 1 dan 7, pasal 3 ayat (1), (3) dan (5), pasal 4, pasal 11 ayat (2) dan (3), pasal 19, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23.(Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman