PEMERINTAH mengupayakan beragam cara untuk meningkatkan pendapatan pajak, yang tahun ini ditargetkan sebesar Rp 1.360 triliun atau naik 5% dibandingkan tahun lalu. Salah satu upayanya adalah pengajuan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), yang apabila disahkan pemerintah menargetkan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 80 triliun-Rp 100 triliun.

Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Pemerintah juga men­gusahakan ekstensifi­kasi pajak dengan me­nambah jumlah wajib pajak. Menurut hitun­gan Ditjen Pajak, saat ini jumlah kelas menengah di Tanah Air se­banyak 129 juta jiwa, namun yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru sekitar 26,8 juta jiwa. Dari jumlah itu, kepatu­hannya pun masih rendah, yakni hanya 10,3 juta wajib pajak priba­di yang menyampaikan SPT.

Rendahnya kepatuhan mem­bayar pajak juga terjadi pada wajib pajak badan. Dari 1,2 juta perusahaan yang terdaftar seb­agai wajib pajak badan, hanya sekitar 45,8 persen atau 550 ribu perusahaan yang menyampaikan SPT. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan ekstensifikasi melalui skema pengenaan pajak penghasilan (PPh) minimum bagi perusahaan atau Alternative Min­imum Tax (AMT).

Hak pembayar pajak

Pemerintah juga berencana merevisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Banyak perubahan diusulkan dalam RUU KUP, salah satunya adalah perubahan terminolo­gi dari “wajib pajak” menjadi “pembayar pajak”, serta “No­mor Pokok Wajib Pajak” berganti menjadi “Nomor Identitas Pem­bayar Pajak”.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Mungkin perubahan termi­nologi itu terkesan remeh, namun sesungguhnya men­gandung makna yang dalam. Sebutan “wajib pajak”, secara implisit mengandung makna sang wajib pajak memiliki kewajiban yang harus ditunaikan, yakni mem­bayar pajak. Tidak tersirat hak-hak yang diperoleh oleh pem­bayar pajak.

Berlainan dengan istilah “pembayar pajak”, yang secara tersirat bermakna bahwa selain kewajiban, terdapat pula hak-hak yang dimiliki pembayar pajak. Hal ini selaras dengan perubahan slogan Ditjen Pajak dari semula “Orang Bijak Taat Pajak” menjadi “Bayar Pajaknya, Awasi Penggu­naannya”.

“Awasi penggunaannya” ini­lah yang selama ini hampir tidak pernah dapat dilakukan oleh para pembayar pajak. Selama ini wajib pajak seolah-olah memberikan cek kosong kepada pemerintah atau penyelenggara negara lain dalam menggunakan uang pajak. Kritik keras masyarakat terhadap pelbagai kebijakan pemerintah selama ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara aspirasi masyarakat dengan kebijakan yang menggunakan uang pajak.

Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pres­iden No. 39/2015 tentang kenai­kan tunjangan uang muka mobil pejabat, masyarakat bereaksi sangat keras. Kebijakan itu tidak saja dianggap tidak tepat waktu, namun juga salah sasaran. Per­pres itu dinilai keliru karena dikeluarkan justru saat seba­gian besar rakyat tengah diimpit tekanan beban hidup yang berat. Para pejabat juga dianggap telah mendapatkan banyak fasilitas se­hingga tak perlu lagi memperoleh kenaikan uang muka pembelian kendaraan.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Hal serupa terjadi saat DPR berencana membangun gedung baru dengan anggaran triliunan rupiah. Selain dinilai mengham­bur-hamburkan uang pajak, reak­si keras masyarakat juga karena catatan buruk kinerja parlemen selama ini.

Beragam contoh lain dapat disebutkan guna memperpan­jang daftar bagaimana masyara­kat seringkali tak berdaya ketika berhadapan dengan penyeleng­gara negara yang seolah-olah bebas menggunakan uang pajak tanpa mempedulikan pandangan dan perasaan rakyat. Masyarakat tak berdaya dan harus rela uang pajak digunakan untuk membi­ayai kegiatan yang justru melukai perasaannya.

Karenanya, agar aspirasin­ya lebih bergaung dan haknya lebih terakulasikan dengan efek­tif, para pembayar pajak perlu berhimpun, mewadahi diri, se­hingga ketika menyikapi sebuah persoalan tidak sporadis, lebih didengar, dan lebih berdaya. Apabila pembayar pajak mampu lebih mengekspresikan haknya dalam mengawasi penggunaan uang pajak, beberapa perbaikan kondisi dapat diharapkan.

Pertama, kepatuhan dalam membayar pajak akan mening­kat. Tingkat kepatuhan pembayar pajak berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan atas peman­faatan pajak yang dibayarkannya. Dengan kemampuan turut me­nyuarakan bagaimana uang pa­jak seharusnyu dimanfaatkan, di­harapkan kepatuhan pajak akan meningkat karena mereka lebih yakin uang yang dibayarkannya tidak sia-sia.

Kedua, penyelenggara nega­ra, pegawai negeri, serta pihak-pihak lain akan lebih berhati-hati dalam merencanakan dan me­manfaatkan uang pajak, karena kini para pembayar pajak tak lagi diam tak berdaya usai melunasi kewajiban pa­jaknya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================