alimuTERUNGKAP fakta menarik saat sidang Patrice Rio Capella di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yakni terjadinya “perebutan” kursi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) antara gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang berlainan partai. Fakta ini menarik karena menunjukkan kondisi sesungguhnya bagaimana relasi kekuasaan dan birokrasi.

Oleh: ALI MUTASOWIFIN
Pegawai Negeri Sipil di IPB

Beragam peraturan me­mang dirancang untuk menjauhkan birokra­si dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Kondisi ini menjadikan birokrasi hanya menjadi objek atau penon­ton drama perebutan kekuasaan. Lihatlah ketika presiden telah terpilih dan menyusun jajaran pembantunya, yang kental dengan aroma transaksional.

Kabinet kerap diisi politisi dan hanya sedikit yang berasal dari kalangan profesional, terma­suk birokrasi. Padahal, selama ini banyak yang meragukan kom­petensi para menteri dari partai politik atau kompetensi mereka dianggap tidak selaras dengan bi­dang tugas kementeriannya.

Atau, kapasitas mereka dini­lai masih jauh di bawah banyak tokoh lain yang memiliki keahl­ian dalam bidang tersebut.

Yang terjadi, banyak pejabat eselon satu kementerian yang sebagian bahkan profesor dan doktor lulusan perguruan tinggi ternama dunia dan diyakini amat mumpuni dan telah berkutat puluhan tahun dalam bidang­nya, tiba-tiba saja harus pasrah menerima pimpinan baru lulu­san sarjana atau magister dari perguruan tinggi lokal yang bah­kan acap hanya berakreditasikan “nyaris tak terdengar”.

Kondisi menjadi lebih parah lagi bila sudah begitu, latar be­lakang pendidikan sang menteri baru itu pun amat jauh keterkai­tannya dengan mandat kementerian yang dipimpinnya.

Praktik bagi-bagi kekuasaan setiap pergantian kabinet tanpa menghiraukan kapabilitas sep­erti ini merupakan rutinitas kekecewaan yang harus ditang­gung jajaran birokrasi. Belum lagi ditambah praktik serupa dalam penentuan jajaran direksi dan komisaris badan usaha milik negara (BUMN) yang lebih sering memprioritaskan kedekatan afi­liasi politik dan balas jasa dari­pada kompetensi dan profesion­alitas.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Brain drain di partai politik

Undang-Undang No. 43 ta­hun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang diperkuat Peraturan Pemerintah No. 5 ta­hun 1999 memang menetapkan larangan pegawai negeri sipil menjadi anggota atau pengurus partai politik. Aturan-aturan ini membuat kondisi birokrasi dan partai politik serta hubungan keduanya menjadi berubah.

Tak lama setelah aturan terse­but diberlakukan, para birokrat berbondong-bondong mening­galkan partai politik, terutama Golkar. Terjadilah brain drain, karena para pengajar perguruan tinggi yang semula menyokong partai politik banyak yang kemu­dian memilih kembali ke kam­pus.

Jadilah, yang tersisa di partai politik adalah para kader yang, dari segi kemampuan keilmuan, merupakan tingkatan kedua atau bahkan ketiga, karena kelompok teratas memilih melanjutkan karier akademik di perguruan tinggi masing-masing.

Godaan partai politik

Sayangnya, regulasi yang me­maksa para pegawai negeri tidak terlibat langsung dalam partai politik ini tidak dibarengi aturan tentang rekrutmen kepemimpi­nan nasional yang lebih menda­hulukan meritokrasi, sehingga memungkinkan para birokrat memiliki kesempatan yang sama besarnya dengan para pegiat par­tai politik untuk menduduki po­sisi puncak kementerian.

Pemilihan presiden secara langsung di tengah sistem politik multi partai juga memaksa pres­iden memberikan konsesi besar kepada partai politik-partai poli­tik penyokongnya.

Akibatnya, jatah terbesar kabinet pun kemudian jatuh ke­pada para kader partai politik pengusung presiden dan cend­erung mengabaikan sumberdaya dari jajaran birokrasi. Kecender­ungan serupa juga terlihat pada praktik rekrutmen jajaran komis­aris dan direksi BUMN.

Besarnya peran partai politik ini medorong birokrat yang den­gan malu-malu dan sembunyi-sembunyi sering mencari akses dan cantolan ke partai politik-partai politik. Sistem birokrasi pun berbelok, karena promosi dan karier jabatan tidak lagi di­tentukan oleh kompetensi dan kinerja, namun oleh afiliasi poli­tik yang dimiliki. Tentu saja, semua dilakukan tidak dengan terang-terangan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Dalam rekrutmen kepemimp­inan nasional, tanpa dukungan partai politik, seorang birokrat cerdas, mumpuni dan berdedi­kasi tinggi hanya akan mentok di posisi eselon satu. Sebaliknya, keterikatan dan dukungan par­tai politik akan memungkinkan seorang pegawai negeri dengan prestasi biasa-biasa saja mem­buat lompatan luar biasa menjadi petinggi negeri.

Membebaskan birokrasi berpolitik

Sudah menjadi rahasia umum, saat ini banyak pimpinan satuan kerja birokrasi yang diam-diam menjalin afiliasi dengan satu atau bahkan beberapa partai politik. Praktik yang lazim terjadi adalah, begitu terpilih ia akan membawa serta para koleganya yang memiliki “visi” serupa. Se­mentara itu, para birokrat yang setia memegang aturan hanya mampu bermimpi untuk meraih posisi lebih tinggi.

Dalam sebuah tatanan de­mokrasi modern, rekrutmen kepemimpinan nasional yang uta­ma adalah melalui partai politik. Sayangnya, dengan sistem yang sekarang berlaku, bangsa Indo­nesia telah menutup kesempatan memperoleh orang-orang ber­integritas baik, berdedikasi tinggi, berilmu dan berkemampuan mumpuni, serta berpengalaman luas, yang sedang berada di jaja­ran birokrasi untuk menduduki posisi tinggi yang diisi melalui rekrutmen politik.

Dengan sistem politik yang semakin transparan serta pen­gawasan yang semakin efektif dari parlemen dan masyarakat, telah tiba masanya meninjau kembali larangan pegawai neg­eri terlibat dalam kegiatan poli­tik praktis. Bila sebuah kabinet yang mencakup urusan seluruh negeri saja bisa bersumberkan dari beragam partai, mestinya tak ada yang perlu dikhawatir­kan bila ada keragaman serupa di tingkatan pemerintahan yang lebih kecil. (*)

============================================================
============================================================
============================================================