Oleh: Bahagia, SP., MSc. Alumni Fakultas Pertanian UGM dan Sedang Menempuh Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB serta Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor
Luas lahan sawah sampai saat ini paling luas berada dipulau Jawa. Total luas lahan sawah irigasi di Indonesia mencapai 4898822 juta Ha. Hampir 50,78 % dari total luas lahan sawah irigasi berada di pulau Jawa atau sekitar 2487708 ha (BPS,2015). Luas lahan sawah yang berada dipulau Jawa sempat mengalami pengurangan luas. Tahun (2012) luas lahan sawah di pulau jawa Sekitar 2685777 ha kemudian mengalami penuruan menjadi 2441835 ha pada tahun (2013).
Laju kehilangan lahan tersebut nampaknya tidak selaras dengan pandangan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Poin penting dalam undang-undang ini dimana lahan tetap harus dilindungi dari laju kehilangan lahan. Demi tersedianya lahan pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Fakta tadi membutikan bahwa undang-undang itu mengalalami kemandulan dalam pelaksanaan di lapangan.
Permasalahan diatas tidak luput dari kurang optimalnya dalam keberpihakan terhadap pembangunan pertanian. Lebih penting lagi mengkonversi lahan pertanian produktif untuk pembangunan jalan raya dan infrastruktur. Ditambah lagi perluasan lahan untuk perumahan dan Industri akibat perpindahan penduduk dari desa ke kota. Laju urbanisasi ini telah membuat perkotaan padat penduduk dan perkotaan di Jawa terancam kehilangan lahan sawah. Satu sisi tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi diperdesaan sangat memprihatinkan.
Perkotaan akhirnya dianggap sebagai sumber penghidupan karena kenyatannya memang seperti itu. Sedangkan perdesaan dianggap sebagai daerah kemelaratan. Berkaitan dengan ini, cita-cita pemerintah untuk mencetak lahan sawah dipulau Jawa nampak menemui jalan buntu. Pemerintah kemudian panik dan pening untuk mencarikan jalan solusi sebab kebutuhan pangan, sayuran dan buah-buahan harus terpenuhi.
Sekarang tinggal bergantung kepada pemerintah. Percetakan sawah tetap bisa dilakukan pada kota padat penduduk selagi pemerintah berani mengkonversi lahan bangunan kepada lahan pertanian. Memanfaatkan lahan pekarangan yang tersisa dan lahan kering yang tidak diusahakan. Kondisi ini sangat membahayakan keberlanjutan pertanian. Selama ini laju kehilangan lahan tadi tidak sebanding dengan percetakan sawah yang dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah berencana melakukan percetakan sawah seluas 40 ribu hektar pertahun (Renstra, 2015-2019). Jika kita bandingkan dengan kehilangan lahan sawah pada sentra produksi padi di Pulau Jawa selama dua tahun belakangan mencapai 243942 ha. Sungguh tidak sebanding dengan hilangnya luas lahan sawah yang hilang dibandingkan dengan lahan sawah baru yang tercetak. Kondisi ini sangat miris dan lebih miris lagi kalau konversi lahan tetap terjadi.
Salah satu caranya, pemerintah masih bisa melakukan percetakan sawah dengan jalan memperlus lahan sawah pada daerah yang sepi penduduk. Misalkan di Kalimantan dan di pelosok Sumatra. Hanya saja percetakan sawah sampai dengan sawah dapat ditanami tidak mudah. Ukuran ekologis harus diterapkan. Termasuk jenis lahan yang digunakan untuk mencetak sawah baru. Salah cetak sawah menyebabkan sawah rawan miskin unsur hara.
Lapisan tanah atas saat mencetak sawah haruslah diperatikan. Tetap usahakan bagian atas dari tanah tadi dikembalikan lagi ke bagian atas. Jangan sampai tertukar lahan bagian bawah yang tidak subur justru terletek pada bagian atas. Kondisi ini membuat lahan sawah tidak subur. Jika salah dalam pengolahan membuat petani harus memupuk lahan baru lebih banyak lagi demi meningkatkan kesuburan tanah. Petani ahkhirnya rugi dan modal yang dikeluarkan makin banyak.
Sedangkan lahan yang mempunyai histori lahan gambut berbeda cara pengolahannya dengan lahan sawah biasa. Lahan itu jangan dijadikan langsung jadi sawah. Justru lahan sawah ini tidak dapat ditanami suatu saat nanti karena mudah kebanjiran. Kalau musim kemarau mudah terbakar. Selain itu, irigasi juga mutlak diperhatikan saat percetakan sawah baru. Irigasi harus terbangun dengan baik.
Sawah yang baik yaitu sawah yang air irigasinya tidak lama tergenang. Tentu sangat berbahaya pada saat lahan tanah berawa dijadikan lahan sawah. Lahan ini termasuk kedalam lahan sulfat masam. Tanah seperti ini mengandung senyawa pirit (FeS2). Tanah yang mengandung senyawa ini cenderung sangat masam. Sementara tanaman seperti padi dapat tumbuh pada tanah yang tidak asam. Kandungan ini dapat berpengaruh terhadap biota air yang ada disawah.
Zat ini sangat beracun bagi tanaman dan tanaman tidak berproduksi optimal pada saat kandungan pirit banyak dalam tanah. Tanaman menjadi kerdil. Tentu saluran pembukaan dan saluran pembuangan dari sawah mutlak harus diperhatikan. Selain itu, perlu dibangun kelembagaan dan insfrastruktur yang baik pada lokasi percetakan sawah yang baru. Termasuk infrastruktur pasar, sumberdaya manusia, dan jaminan pemasaran hasil pertanian.
Rencana percetakan sawah diluar pulau Jawa akan memberikan bantuan kepada petani yang tidak punya lahan di Jawa. Mereka bisa dipindahkan ke tempat percetakan sawah baru. Pastikan apakah memang sawah yang baru dicetak sudah bisa ditanami. Jangan sampai mereka sudah datang tetapi malah sawahnya kebanjiran dan fasilitas belum terbangun sama sekali. Sebenarnya mengatasi konversi lahan sangat mudah terutama pada daerah kota besar.
Pertama, pemerintah memang harus mempunya zonasi perencanaan yang jelas. Sesuai dengan undang-undang tadi maka pemerintah daerah di pulau Jawa harus tertera dalam rencana pembangunan Badan Perencanaan Daerah. Sedangkan dinas-dinas terkait tinggal melaksanakan. Disini perlu pemanggilan dari setiap dinas-dinas untuk mengatur zonasi pertanian. Berapa luasan zonasi pertanian dan berapa zonasi untuk perumahan.
Jangan langsung lahan pertanian dikonversi jadi perumahan. Sementara undang-undang tadi melarang untuk melakukan konversi lahan. Tentu secara kelembagaan dan hukum. Lembaga dan hukum perundangan tentang lahan belum diterapkan. Dengan begitu jika terjadi alihfungsi lahan sawah yang terus menerus pada suatu daerah maka pemerintah daerah wajib memberikan alasan dan dilakukan proses secara hukum sebab sudah menyalagi aturan perundangan.
Keberpihakan terhadap pembangunan pertanian boleh dikatakan masih setengah hati. Boleh jadi Kementerian Pertanian bersungguh-sungguh mengembalikan citra negara agraris tetapi belum tentu Kementerian. Untuk itu antara kementerian dan SKPD terkait harus sinkron dan bekerja sama untuk membangun pertanian. Kedua, sebelum mencetak sawah sebainya bangun kelembagaan pertanian baik kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan terutama membentuk kelompok petani atau membenahi kelompok petani yang sudah terbentuk.
Ketiga, jaminan pasar. Pemerintah tidak ada gunanya kalau hanya mencetak sawah baru tetapi masih bingung untuk menjual hasil pertanian. Selanjutnya kalau ingin mendatangkan petani ke daerah percetakan sawah baru dengan tidak melupakan masyarakat lokal. Maka pemerintah harus benar memastikan petani yang dikirim sudah mempunyai skill yang sangat baik untuk mengembangkan pertanian pada sawah yang baru dicetak.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR
============================================================
============================================================
============================================================