Oleh : Bahagia, SP., MSc.

(Dosen Tetap Universits Ibn Khaldun Bogor dan Sedang Menempuh Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB

Arah pembangunan saat ini harus dikoreksi. Bencana banjir dan longsor bukan sepenuhnya terjadi karena pergantian musim. Artinya bukan alam yang salah tetapi perlu dilakukan koreksi atas tindakan pembangunan selama ini. Akhirnya alam tadi menteror manusia dan kembali kepada perbuatan manusia itu sendiri. Bencana seperti genangan banjir dan longsor sebagai literasi bagi manusia.

Mengalami bencana-bencana itu setiap tahun menjadikan manusia sadar bahwa selama ini memang manusia telah egois kepada alam. Hanya saja berkali-kali mengalami bencana namun mengalami lagi pada tahun berikutnya. Sepertinya pengalaman bencana tahun sebelumnya tidak menjadikan pelajaran. Buktinya, korban jiwa, rumah roboh, dan lahan pertanian rusak masih menjadi berita hingga saat ini.

Satu sisi bencana itu sebagai literasi kepada manusia supaya bisa membaca gejala alam. Bahkan, alam itu sendiri bersifat tetap, terjadwal, dan tidak berubah. Normalnya, musim penghujan tidak berubah dan begitu juga musim kemarau. Sebagai manusia harus pandai membaca alam ini karena sudah diberikan tanda-tanda alam. Membaca alam seperti musim membuat manusia bisa melakukan mitigasi baik antisipasi serta adaptasi terhadap musim.

BACA JUGA :  Cemari Aliran Sungai Ciliwung, Gudang Bahan Baku Sabun di Kota Bogor Disegel

Kegagalan membaca alam menjadikan manusia tidak siap untuk melakukan aksi mitigasi.  Selain itu masih banyak literasi alam lainnya. Misalkan, kedatangan siklon tropis yang ditandai dengan bencana badai, angin kencang dan hujan deras. Kejadian siklon ini sudah pernah terjadi tetapi bukan sebagai pelajaran untuk saat ini.

Hanya saja kemampuan membaca alam tetap tidak berarti selagi tidak mengoreksi kesalahan arah pembangunan selama ini. Salah satu masalahnya anggaran untuk perbaikan lingkungan hidup sangat sedikit. BPS (2015) mencatat bahwa anggaran untuk perbaikan lingkungan sangat sedikit. Propinsi Jawa Barat mengeluarkan dana dari APBD (Anggaran Pembelanjaan Daerah) sekitar 417982 juta rupiah (1,6% dari total APBD).

Propinsi Jawa Tengah mengeluarkan dana sekitar 58929 juta rupiah (0,34 % dari total APBD), Propinsi Jawa Timur mengeluarkan dana sekitar 35625 juta rupiah (0,15% dari total APBD). Minimnya dana lingkungan sebagai wujud bahwa toleransi ekologis gagal sebagai prinsip dalam pembangunan.

BACA JUGA :  Daftar Pebulu Tangkis Indonesia di Spain Masters 2024, Berikut Hasil Drawing

Akhirnya pembangunan berkelanjutan hanya dalam jangka pendek tetapi memanen bencana dalam jangka panjang. Minimnya dana anggaran ini menggambarkan bahwa pembangunan ramah lingkungan belum menjadi prioritas. Satu sisi bila kita tengok dengan keadaan sejumlah propinsi ini maka bencana alam menjadi persoalan penting pada sejumlah daerah di pulau Jawa.

Pulau Jawa termasuk daerah dengan rekor paling sering terdampak bencana alam. Di pulau Jawa, kawasan perdesaan yang paling banyak berada di daerah lereng dan puncak gunung terletak di propinsi Jawa Tengah. Sekitar 1848 desa. Propinsi Jawa Barat menduduki posisi kedua terbanyak se Indonesia sekitar 1559 desa dan rangking nomor tiga terbanyak berada di propinsi Jawa Timur sekitar 1089 desa.

Kerugian negara kedepannya semakin membengkak terlebih pulau Jawa termasuk wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak sehingga banyak penduduk yang terdampak bencana alam. Disamping itu untuk melakukan antisipasi terhadap kebutuhan pangan karena pertumbuhan jumlah penduduk pada suatu wilayah. Sedangkan pada wilayah lain sepi penduduk.

============================================================
============================================================
============================================================