Oleh: Bahagia

(Sedang Menempuh Progrom Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Saat ini air sungai-sungai yang mengalir melintasi desa dan perkotaan sudah tercemar berat. Kualitas air sungai sudah sangat memprihatinkan. Masalah ini tidak dipungkiri karena banyaknya kawasan permukiman pada pinggiran sungai. BPS (2014) mencatat sekitar 21065 desa secara nasionasl berada dipinggiran sungai.

Propinsi Jawa Barat tergolong paling banyak kawasan desa berada dipinggir sungai mencapai 1949 desa jika dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Letak desa terhadap sungai mempengaruhi kualitas air sungai sebab tidak bisa dijamin perilaku masyarakat sekitar apakah mau atau tidak untuk menjaga sungai.

Pada faktanya limbah rumah tangga masih dibuang ke badan sungai. BPS (2014) sekitar 1924 desa dimana airnya tercemar karena tindakan pembuangan limbah berasal dari rumah tangga. Pencemaran juga berasal dari limbah industri, ada sekitar 3304 desa tercemar oleh pabrik. Propinsi Jawa Barat terkategori dimana paling banyak desa terdampak pencemaran limbah rumah tangga dan pabrik.

Tercatat sekitar 240 desa tercemar limbah pabrik dan sekitar 663 desa tercemar oleh limbah rumah tangga. Kemudian, propinsi Jawa Barat termasuk daerah dengan produksi sampah terbanyak di Indonesia. Disini warga berpotensi sebagai pusat kerusakan. Mereka bisa menjadikan kawasan sungai sebagai tempat pembuangan tinja.

Kita bisa bayangkan bagaimana rusaknya kualitas air sungai kalau dijadikan sebagai tempat pembuangan tinja umum. Fakta ini masih banyak ditemukan dimana warga masih menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan tinja. Satu sisi sudah ada program dari pemerintah seperti sanitasi dan kesehatan lingkungan. Program ini nampak belum berjalan dengan baik. Kualitas-kualitas air itu diperburuk lagi dengan masuknya sampah ke badan sungai.

Sampai sekarang masih ditemukan banyak sekali sampah di sungai.  Menurut BPS (2016) timbunan sampah per hari di propinsi Jawa Barat mencapai 51502,38 m3/hari, kota Surabaya sekitar 9 475,21 m3/hari, dan DKI Jakarta mencapai 6748 m3/hari. Sedangkan produksi sampah di kota Semarang propinsi Jawa Tengah mencapai 4998,67 m3/hari. Selanjutnya, propinsi Jawa Barat termasuk daerah sentra tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan.

BACA JUGA :  Melahirkan di Kamar Kos, Siswi SMK di Kupang Sembunyikan Bayi Meninggal dalam Koper

Sungguh miris dimana pertanian dituding sebagai sumber pencemaran lingkungan tetapi begitulah faktanya. Pertanian organik belum populer dikalangan petani. Masih lebih banyak penggunaan pupuk buatan pabrik dibandingkan dengan penggunaan pupuk alami. BPS (2016) mencatat realisasi penyaluran pupuk urea kepada petani mencapai 3.051.898 ton, pupuk Za sekitar 735.258 ton, dan NPK mencapai 2.024.477 ton.

Realisasi pupuk non organik kepada petani lebih banyak dibandingkan dengan realisasi pemberian pupuk organik. BPS (2016) mencatat  pupuk organik yang direalisasikan pada tahun (2016) hanya sekitar 473.636 ton. Penggunaan pupuk besar-besaran nampak tidak berhenti sebab kerusakan lingkungan tanah ikut bermasalah. Erosi tanah tidak bisa dihindarkan sehingga mengikis lapisan humus bagian lapisan tanah atas.

Begitu juga dengan sisa pupuk dari urea berdampak terhadap tingginya kandungan Nitrogen dari urea pada kawasan sungai. Hal ini turut memperkaya kandungan unsur hara dalam sungai tetapi menggersangkan lapisan tanah didaratan. Dampaknya, kualitas air sungai rusak dan kesuburan serta pertumbuhan vegetasi sangat tinggi disungai. Tindakan-tindakan itu mempengaruhi mutu dan kualitas air sungai.

Misalkan, beberapa sungai di propinsi Jawa Barat seperti sungai Cisadane, Citarum, dan Ciliwung terkategori sudah tercemar berat. BPS (2016) mencatat bahwa sungai Citarum tercemar berat, sungai Ciliwung juga tercemar berat dan sungai Cisadane terkategori tercemar berat. Pembuktin dilakukan dengan mengambil 5 sampai air di sungai, 7 sampel air di sungai Citarum dan 5 sampel air terbukti tercemar.

Sungai yang tercemar berat ini masih dipergunakan oleh warga. Ada beberapa strategi untuk mengatasi pencemaran sungai. Pertama, fatwa kebersihan sungai dan implementasi. Masyarakat di Indonesia masih sangat mencintai ulama dan tunduk kepada ulama. Apa yang dikatakan ulama berdasarkan agama selalu diikuti.

Kedepannya, ulama perlu menggagas fatwa tentang pengharaman mencemari sungai. Hal ini berkaitan dengan ajaran agama dimana mengharuskan seluruh umat untuk menjaga kebersihan dan kesucian. Umat beragama harus memperhatikan kebersihan rumah, lingkungan dan seluruh anggota badan. Jika sungai tercemar maka termasuk perilaku melalaikan kebersihan sungai.

BACA JUGA :  Wajib Perhatikan Ini, 5 Penyebab Trombosit Turun yang Perlu Diketahui

Sekaligus merusak lingkungan. Fatwa ulama tadi nanti dikaji secara ilmiah bahwa lebih besar masalah yang terjadi dibandingkan dengan ulama diam saja untuk tidak menggagas fatwa tersebut. Dalam implementasinya bisa dilakukan dengan green dakwah dimana dakwah sudah harus menuju dakwah berkelanjutan.

Dakwah saat ini tidak berkelanjutan sebab pengajian, kultum dimasjid, dan khutbah jumatan belum mengangkat tema-tema lingkungan hidup. Pembahasaan juga harus mendalam bukan sekedar menampilkan ayat-ayat kitab suci tetapi tidak dianalisis sesuai dengan fakta dilapangan. Kedua, memberdayakan masyarakat.

Teknologi terbaik yaitu rakayasa sosial masyarakat. Pemerintah harus berani merubah halaman depan masyarakat. Biasanya, rumah-rumah warga menjadikan sungai berada dibelakang rumah. Saat ini harus dirubah dimana seluruh rumah berhadapan dengan sungai. Tentu semua rumah pada sisi kanan dan kiri rumah berhadapan ke sungai. Setiap rumah juga berhadapan dengan rumah lainya hanya dibatasi sungai.

Cara ini dapat menumbuhkan rasa malu untuk membuang tinja ke sungai sebab dilihat oleh tetangganya didepan rumah. Kemudian, warga itu diberikan penyuluhan lingkungan, dan sampah mereka diolah dengan benar. Bahkan, mereka dapat insentif dari sampah mereka. Banyak orang tidak tau kalau sampah mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi. Semua sampah organik diolah menjadi pupuk.

Kemudian berikan kepada petani dan petani pakai pupuk organik. uang penjualan pupuk diberikan kepada warga pemilik sampah. Dua masalah terselesaikan, sungai tidak kaya akan Nitrogen dari pupuk urea dan sekaligus mengurangi pembuangan sampah dan limbah rumah tangga ke sungai.

Terkhir, mulai merelokasi warga yang berdekatan langsung dengan sungai. Menunda-nunda relokasi ini membuat air sungai semakin tercemar berat. Hari ini mereka belum mau pindah. Sosialisasikan dan bangun rumah untuk mereka dan lebih baik dari pada tempat mereka tinggal saat ini.

Tahapan berikutnya menghijaukan kawasan lingkungan sungai dan menghijaukan halaman rumah warga sehingga air hujan dapat ditahan dan tidak banyak masuk ke sungai tetapi terserap kemudian terinfiltrasi masuk ke tanah. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================