BOGOR TODAY – Pansus DPRD Kota Bogor tengah merancang revisi Perda KTR. Masyarakat kota hujan khususnya penjual maupun konsumen rokok berharap penerapan perda yang menjadi andalan Kota Bogor itu, tidak memberatkan salah satu pihak. Artinya antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap rokok, bisa sama-sama menghargai aturan tersebut.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik terbatas menyoal kepentingan Perda nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi kajian awal sebelum terjadinya revisi yang kini tengah dilakukan Pansus Perda KTR Kota Bogor.

Dalam diskusi yang berlangsung di Istana Ball Room, Hotel Salak, Bogor pada Kamis (28/12/2017) itu, Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto menjadi keynote speaker diskusi bertema ‘Mengkritisi Perda KTR Kota Bogor, Perlukah?’

Diskusi ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah, pengusaha, pedagang hingga konsumen tembakau. Tentu saja termasuk masyarakat Kota Bogor secara umum. Dengan begitu, Perda yang dikeluarkan bisa menjadi payung hukum bagi perokok dan bukan perokok. Pembentukan Perda KTR yang berimbang menjadikan Kota Bogor sebagai referensi seluruh wilayah di Indonesia.

Bima mengantarkan diskusi ini dengan penuturan adanya wilayah diskresi yang bersifat ‘turun temurun’ dari Pemerintahan sebelumnya. “Wilayah itu posisinya adalah ruang ebijakan untuk berikhtiar dengan landasan hukum yang jelas. Jadi, spirit pengendalian tembakau sudah ada, tinggal diteruskan dan dikuatkan. Saya mempercayai riset bahwa merokok itu mudharat, dari segi kesehatan. Tetapi larangan yang ada juga tidak bisa membabi-buta,” ujar Bima.

Ia juga menegaskan bahwa, Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak berpengaruh, meski tidak bermitra dengan perusahaan rokok. “Jadi, Kota Bogor tetap komitmen menegakkan Perda nomor 12 Tahun 2009, Perda nomor 3 Tahun 2014 dan Perda nomor 1 Tahun 2015. Juga adanya riset dukungan terhadap KTR yang meningkat,” paparnya.

Sementara itu, Faisal Alatas, Ketua Pansus Perda KTR Kota Bogor menuturkan adanya revisi yang sedang dilakukan dalam Perda No. 12/2009. “Ada 11 pasal yang sedang dalam kajian revisi,” ujarnya. Faisal juga menuturkan, Perda ini merupakan inisiatif dari DPRD dengan mengacu pada UU No 39 Tahun 1999 yang bertujuan untuk menyehatkan Kota Bogor. “Revisi dilakukan diantaranya karena shisa dan vape belum dimasukan dalam KTR,” jelas Faisal.

BACA JUGA :  Pj. Bupati Bogor Hadiri Kegiatan Prosesi Pengantar Tugas Sekjen Kementerian Dalam Negeri

Menanggapi itu, Ferry Mursyidan Baldan, Presiden Smoker Club Indonesia mengingatkn agar tidak salah memahami soal rokok dan perokok. “Perokok itu paling taat hukum. Semua aturan tentang merokok dipatuhi oleh perokok. Ada bea pajak dan cukai, dibayar, “ ungkapnya. Ia mengatakan banyak regulasi yang justru bertentangan atau melebihi dengan UU di atasnya.

Ferry mengingatkan, jika kita melarang merokok, harus disiapkan juga tempat merokok. “Jangan memulai merokok, tetapi juga jangan melarang berhenti merokok. Saat ini cara mencantumkan peringatan – didasari kebencian. Ini yang salah,” tambahnya. Ferry mengatakan, dari segi regulasi Perda KTR dibuat untuk mengatur agar kehidupan masyarakat di Kota Bogor menjadi sehat dan terbangunnya harmoni sosial.

Sebab itulah, menurut Ferry rumusan peraturan tidak boleh unfair dan unlogical. “Nah kalau di hotel, restauran, mal dan tempat kerja tidak ada smoking areanya maka area lainnya boleh jadi tempat merokok. Dan sanksi juga berlaku bagi hotel, restauran mal dan tempat kerja yang tidak menyediakan smoking area. Itu baru regulasi yang fair,,” ujarnya. Ia menegaskan agar pembentukn aturan dalam Perda, ada aturan yang mudah dikerjakan dan ditaati. “Saya akan membantu regulasi untuk menghadapi para perokok,” ungkap Ferry.

Dr Rubaeah, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor menegaskan bahwa tidak pernah ada diskriminatif terhadap siapapun dalam menjalankan Perda tersebut. Ia menegaskan, Dinkes memiliki tugas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Perda itu juga dikuatkan oleh Inpres No 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), “Salah satu isi dari Germas itu adalah enyahkan asap rokok, karena berdampak terhadap orang lain. Jadi kami hanya melindungi perokok pasif dan mencegah generasi untuk tidak merokok,” ungkapnya.

Senada dengan itu, Dr Adelia Rahmi dari Komunitas Anti Tembakau mengungkapkan hasil kajian bahwa Perda KTR dibutuhkan masyarakat. “Perda itu tidak meminta berhenti merokok, tetapi perlu disadari adanya hak untuk memilih hidup sehat. Hak hidup sehat ini yang harus dilindungi,” ujar Adelia. Tetapi ia mengakui adanya kelemahan soal tempat merokok atau smooking room. Meski begitu, ia berharap agar revisi Perda KTR bukan untuk melemahkan aturan tersebut.

BACA JUGA :  Cemilan Manis Gurih dengan Puding Pandan Thai (Kanom Piakpoon), Mudah Dibuat

Melihat aturan yang harus dijalankan itu, Soemarsono, Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri memaparkan Perda KTR esensinya mengatur “area” tidak boleh merokok, bukan melarang merokok “Menetapkan Perda itu harus dengan cara ‘public hearing’ dan seharusnya ini tidak hanya dievaluasi di Bogor, tingkat Provinsi juga harus ikut mengkaji,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, Syamsudin CH Haesy, Pengamat Kebijakan Publik mengingatkan agar kajian dan penetapan aturan itu tidak didasari oleh alasan, tetapi harus mengedepankan cara. “Problem kita sebenarnya terlalu mengedepankan alasan, tetapi tidak mencari cara,” ungkapnya. Salah satu caranya adalah, harus ada policy design yang dimusyawarahkan. mengelola diri, sehingga yang harus dilakukan adalah membangun mindset yang benar. “Kebijakan tidak boleh “lebay” karena akan menjadi mubajir. Karena peraturan yang lebay tidak akan tereksekusi dengan baik,” tambahnya. Syam menegaskan aturan yang diberlakukan harus memiliki nilai adil dan bersetara.

Diskusi ini juga dihadiri oleh Dr Tony Priliono, Sekjen Lembaga Konsumen Rokok Indonesia, selain itu Suprianto dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia dan Ismet Ali, Ahli Tembakau Indonesia. Ketiganya melihat agar Perda tidak memandang perokok secara diskriminatif. “Perokok mengalami evolusi kesadaran. Jadi Perda jangan diskriminasi. Upaya Perda melarang display atau pemajangan rokok, jelas merugikan pedagang,” ungkap Suprianto.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Erna Nurlaena mengatakan, larangan pemajangan yang disebutkan dalam Pasal 12 Perda KTR itu hanya dimaksudkan untuk melindungi genarasi muda dari pengaruh rokok. Terkait penyediaan smoking area pada Perda sebelumnya pimpinan instansi dapat menyediakan smoking area dan pada revisi perda kata ‘dapat’ ini dihilangkan.

Pada diskusi ini, ada permintaan kalau penyediaan smoking area itu menjadi keharusan “Terakit permintaan itu harus kami didiskusikan terlebih dahulu dengan para pemimpinan tempat umum (restauran, mal, hotel) apakah bersedia atau tidak. Apalagi ada permintaan juga kalau enam bulan tidak menyediakan smoking area tempat umum turut diberi sanksi. Jadi ini masih wacana masih belum tahu keputusannya seperti apa,” tegas Erna. (Rifki Setiadi)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================