JAKARTA TODAY – Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet. Tanpa adanya sertifikat fidusia, debt collector tidak boleh melakukan eksekusi di jalan karena berpotensi menimbulkan pidana.

“UU Jaminan Fidusia ini memberikan kepastian hukum kepada debitur dan kreditur, sehingga dengan adanya sertifikat jaminan fidusia ini, baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia/pemilik unit, dapat terlindungi masing masing haknya,” terang Kasubdit Ranmor Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Antonius Agus kepada wartawan di gedung Balai Pertemuan Metro Jaya Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (20/11/2017).

Hal itu diungkapkan Agus seusai acara Sarasehan dan Dialog Optimalisasi Pelaksanaan UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Guna Meningkatkan Pemahaman Masyarakat serta Pelaku Usaha Pembiayaan dalam Rangka Terwujudnya Ketertiban Masyarakat dan Kepatuhan Hukum. Acara ini dihadiri oleh sejumlah perusahaan pembiayaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, pihak Ditjen Kemenkumham, dan pihak Otoritas Jasa Keuangan.

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan sebuah benda bergerak yang hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda tersebut. Misalnya, seseorang yang mengkredit motor, motor tersebut milik perusahaan leasing akan tetapi hak miliknya dialihkan kepada debitur.

BACA JUGA :  Makan di Hajatan Khitanan, 166 Warga Purwakarta Keracunan Massal

Dalam pelaksanaan eksekusi ini, perusahaan leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fidusia setelah menempuh upaya somasi terhadap debitur terlebih dahulu. Dalam proses pelaksanaannya, pihak leasing dapat menunjuk atau bekerja sama dengan pihak ketiga (debt collector/tenaga jasa penagihan) untuk melakukan eksekusi (penarikan barang) dengan santun dan beretika.

“Dan pemberi fidusia/pemegang kendaraan wajib menyerahkannya. Dengan adanya jaminan fidusia ini, diharapkan tidak ada lagi eksekusi di tempat,” imbuh Agus.

Dalam UU Jaminan Fidusia ini, diatur mekanisme dalam proses eksekusi (penarikan) benda bergerak dari debitur. Debt collector atau tenaga jasa penagihan tidak berhak mengeksekusi benda jika tidak dilengkapi dengan sertifikat jaminan fidusia.

“Jadi debitur bisa menanyakan kepada tenaga jasa penagih (debt collector) tentang sertifikat jaminan fidusia. Kalau tidak ada, tenaga jasa penagih tidak bisa melakukan eksekusi,” sambungnya.

Sebaliknya, dalam proses eksekusi ini, tenaga jasa penagih bisa menyarankan untuk penyelesaian di kantor perusahaan leasing. Debitur bisa mendapatkan restrukturisasi apabila merasa keberatan dengan cicilan kredit.

“Sehingga dia bisa meminta keringanan cicilan dengan tenor yang ditambah kalau merasa keberatan dengan cicilan yang sekarang,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan sertifikat fidusia ini memberikan proteksi kepada pihak leasing. Sebab, selama ini, tanpa adanya sertifikat fidusia, perusahaan pembiayaan harus melewati mekanisme pengadilan ketika hendak melakukan eksekusi.

BACA JUGA :  Pj Bupati Bogor Kagum Terhadap Pelayanan RSUD Leuwiliang

“Ini kekuatannya sama dengan putusan pengadilan dan ini diproteksi oleh Undang-Undang Fidusia,” ujar Suwandi.

Saat ini ada sekitar 200 perusahaan pembiayaan yang terdaftar di APPI. Suwandi mengatakan seluruhnya telah menjalankan proses eksekusi sesuai UU Jaminan Fidusia.

“Semua (jasa pembiayaan) menjalankan (dengan) memasang akta fidusia, bagi pembiayaan kendaraan roda dua dan roda empat pasti iya. Hampir semua memasang akta fidusia,” imbuh Suwandi.

Namun, untuk alat berat tidak perlu memasang perjanjian fidusia. “Karena sifatnya sewa, jadi masih pakai konteks perjanjian leasing. Kalau mobil dan motor pakai perjanjian pembiayaan konsumen, jadi harus pasang akta fidusia,” tambah Suwandi.

Adapun mekanisme dalam proses eksekusi, pihak leasing harus memberikan surat peringatan satu hingga tiga kali kepada debitur yang mengalami kredit macet setelah tiga bulan lamanya. Setelah memberikan SP1 hingga SP3, kreditur melalui tenaga jasa penagihan berhak melakukan eksekusi kepada debitur dengan syarat membawa sertifikat fidusia dan surat kuasa dari perusahaan pembiayaan. “Yang paling penting haruslah sopan dan tidak ada kekerasan,” tuturnya. (Iman R Hakim /dtk)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================