JAKARTA TODAY- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengeluarkan putusan sela atau provisi yang diajukan sejumlah pemohon uji materi Pasal 79 ayat (3), Pasal 199 ayat (3), dan Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Penolakan MK itu tidak berdampak pada keberadaan Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK di DPR.

Jika MK mengeluarkan putusan provisi, pasal yang digugat tersebut sudah tidak berlaku, dengan demikian angket terhadap KPK harus ditunda. Dan, keputusan MK tidak menerbitkan putusan provisi diambil setelah lembaga peradilan konstitusi itu menyelenggarakan rapat permusyawaratan hakim Rabu (8/9) lalu.

“Maka permohonan putusan provisi dinyatakan ditolak,” kata Wakil Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang uji materi di MK, Jakarta Pusat, Rabu (13/9).

Anwar menjelaskan rapat pemusyawaratan hakim dihadiri delapan hakim konstitusi.

Mereka adalah Ketua MK Arief Hidayat yang merangkap sebagai anggota, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Manahan Sitompul, Maria Farida Indrati, Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna. Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra tidak datang lantaran sedang menunaikan ibadah haji.

BACA JUGA :  Melonguane Sulut Guncang Gempa Magnitudo 4,6

Anwar menjelaskan mufakat tidak tercapai dalam pemusyawaratan hakim meski sudah diusahakan. Keputusan tersebut akhirnya diambil dengan voting dari seluruh hakim yang hadir.

Dewa, Suhartoyo, Manahan, dan Maria memilih untuk mengabulkan putusan provisi. Sedangkan Arief, Anwar, Aswanto dan Wahiduddin memilih untuk menolak putusan provisi.

Sesuai dengan ketentuan pasal 45 ayat 7 Udang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, selanjutnya sebelum keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Namun, putusan dengan suara terbanyak tidak dapat diambil akibat tak hadirnya Saldi. Atas dasar itu, berlaku ketentuan pasal 45 UU MK yakni suara terakhir ketua sidang pleno menentukan. Adapun Arief sebagai ketua berada pada pilihan untuk menolak putusan provisi.

“Dengan demikian maka sidang dalam permohonan pengujian UU nomor 17 tahun 2014 terhadap UUD 1945 dilanjutkan tanpa penjatuhan putusan provisi,” kata Anwar.

Kuasa hukum pemohon Muhammad Isnur menyayangkan tidak dikeluarkannya putusan provisi. Padahal, katanya, putusan provisi tersebut penting. Isnur menilai, keberadaan hak angket DPR terhadap KPK memiliki banyak konflik kepentingan.

BACA JUGA :  Simak 5 Menu Sarapan Terbaik Ini untuk Berikan Energi dan Tingkatkan Suasana Hati

Pasal 79 menjelaskan, DPR berwenang melakukan hak angket untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang penting dan strategis. Pemerintah yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian. Sementara KPK, menurut Isnur, merupakan lembaga negara yang bersifat independen.

Gugatan uji materi ini diajukan empat pemohon, yakni mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Para pemohon mengajukan uji materi 79 ayat (3), pasal 199 ayat (3), dan pasal 201 ayat (2) UU MD3.

Putusan provisi pernah dikeluarkan satu kali oleh MK terkait gugatan uji materi UU Tipikor yang diajukan mantan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang saat itu terjerat perkara pidana.(Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================